Arsip Blog

Sabtu, 21 Mei 2011

Rakyat Lapar, Rakyat Sakit, Rakyat Tetap Bodoh

+sebenarnya tulisan ini adalah arsip tulisan saya yang terdahulu. ketika membongkar-bongkar ehh alhamdulillah ketemu yang ini. Mungkin beberapa dari Anda pernah membacanya, tapi kali ini saya sajikan ke blog yes... Semoga tak ada pemadaman listrik bergilir lagi.. :))



Rakyat Lapar, Rakyat Sakit, Rakyat Tetap Bodoh


“ Lampu Masih Sering Padam, PLN Akan Naikkan Denda Tunggakan Rekening.” Wah, Siapa yang tidak akan terkejut membaca judul yang bercetak tebal pada Koran (Analisa, 18 Februari 2010) lalu. Terang saja, pemadaman listrik secara bergilir masih saja makin hari terlihat tidak semakin membaik, justru dibarengi dengan kebijakan akan menaikkan denda tunggakan rekening? Apa itu tidak tahu malu namanya? Kinerja saja tidak beres, carut marut, kok malah minta bayaran.

Keputusan Direksi PLN No.018.K/DIR/2010 berisi tentang kenaikkan tarif denda pembayaran rekening listrik rumah tangga hingga industri 70 sampai 300 persen. Listrik pelanggan dengan penggunaan 450 Volt Ampere (VA) sampai 13KVA pembayaran mulai tanggal 1-20bulan berjalan, pelanggan dengan pemakaian lebih dari 13KVA tanggal pembayaran 21-27 bulan berjalan.

Terang saja, masyarakat menuai reaksi keras terhadap PLN dan keputusan yang dikeluarkan Direksi Perusahaan Listrik Negara (PLN) tersebut. Sekilas memang tidak rasionalnya keputusan itu mengingat pelayanan yang diberikan. Ada benarnya pernyataan dari Farid Wajdi SH MHum yang menyatakan bahwa, ada dua hal yang harus dikaji dalam penunggakan rekening, pertama karena memang tak mampu bayar karena kondisi ekonomi pelanggan. Kedua, masyarakat memang tak mau bayar sebagai bentuk protes atas kinerja PLN yang buruk.

PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) adalah satu-satunya perusahaan penyedia jasa kelistrikan bagi masyarakat selama berpuluh tahun sejak berkembangnya perusahaan jasa kelistrikan. PLN menguasai pasar usaha penerangan masyarakat. Pasar yang bersifat monopolis semacam ini menyebabkan persaingan usaha dalam bidang penyedia jasa kelistrikan mustahil bisa terjadi. Ditambah lagi dengan struktur PLN yang berintegrasi secara vertikal (vertically integrated), menguasai sisi pembangkitan, transmisi dan distribusi di seluruh Republik Indonesia tercinta ini.

Kemudian, apakah hal ini yang membuat perusahaan tiga huruf tersebut menjadi dan semakin manja? Hanya bisanya mengucapkan maaf setiap kali melakukan pemadaman listrik? Kinerja yang semakin hari semakin tidak jauh dari kata carut marut? Dan mengeluarkan keputusan menaikkan denda tunggakan rekening?! Entahlah…


Tetap Lapar, Tetap Sakit, Tetap Bodoh

Beberapa hari yang lalu, pemadaman listrik bergilir kembali penulis rasakan, tepat di kampus tempat penulis kuliah. Ketika itu, penulis bermaksud hendak memphotocopy beberapa bahan kuliah dari dosen yang nantinya akan dibahas pada waktu kuliah dan juga sebagai bahan bacaan yang dapat dibawa oleh mahasiswa. Sesampainya penulis di kios photocopy kampus dan bahan kuliah sedang dalam proses photocopy, tiba-tiba penulis melihat abang pekerja photocopy menundukkan kepala dan membungkukkan bahu lemas.
“Mati lampu lagi….mati lampu lagi. Mana enggak ada genset, pekerjaanpun semakin kepepet, duit yang didapatpun macet!” begitulah kira-kira kalimat yang keluar dari mulut abang pekerja photocopy yang tampak kesal.

Dari sepenggal kisah penulis diatas dapat ditarik makna bahwa, bagaimana masyarakat tidak lapar, sakit dan bodoh? Terang saja, padamnya listrik mempengaruhi system kebiasaan masyarakat, yaitu terkendalanya dalam melakukan berbagai aktivitas mencari rezeki, belajar dan lainnya dalam aspek social dan ekonomi. Dengan adanya pemadaman listrik yang dilakukan sepihak oleh PLN, kegiatan belajar-mengajar di lembaga-lembaga pendidikan menjadi terganggu dan juga berpengaruh pada kinerja sector usaha kecil yang pada umumnya untuk memenuhi kebutuhan makan (ekonomi), dan kesejahteraan keluarga.

Rakyat lapar, rakyat sakit, rakyat tetap bodoh bermaksud merefleksi dari apa yang telah menjadi program pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara (Syamsul Arifin – Gatot Pudjonugroho) yaitu; “Tidak Lapar, Tidak Sakit, Tidak Bodoh.” Rangkaian-rangkaian kata itu memang sederhana dan langsung popular di tengah-tengah masyarakat. Dan program duet Gubsu dan Wagubsu tersebut jelas berkorelasi langsung dengan pemadaman listrik secara bergilir yang dilakukan secara sepihak oleh PLN dan tak kunjung usai sejak tahun 2005 pemadaman bergilir itu menimpa kawasan Sumatera Utara.

Gubernur Sumut dan PT Perusahaan Listrik (Persero), harus lebih cekatan dalam mengatasi pemadaman bergilir khususnya di wilayah Sumatera Utara. Disamping berdampak pada proses belajar-mengajar dan ‘kebutuhan perut’, urgensi kapasitas energi listrik sangat vital dalam berkelangsungan lalu lintas, industri, perkantoran dan tentunya aktivitas rumah tangga.

Akibat dari pemadaman listrik memang cukup banyak melanda berbagai aspek. Persimpangan jalan raya tak jarang menjadi semerawut dan macet total sebab lampu pengatur lalu lintas tidak menyala sehingga tidak dapat beroperasi sebagaimana fungsinya. Perusahaan-perusahaan dan usaha kecil rumahan yang bergerak di bidang industri juga tidak jarang mogok kerja akibat dari pemadaman yang terlalu sering, begitu juga dengan perkantoran dan aktivitas rumah tangga yang sangat bergantung pada pasokan listrik dari PLN.

Menurut UU Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan, Pasal 3: “Pembangunan ketenagalistrikan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata serta mendorong peningkatan kegiatan.” Namun, hal ini sungguh jauh dari kenyataan yang dirasakan masyarakat sekarang ini. Yang ada hanyalah ketimpangan, kesejahteraan semakin sulit meningkat bahkan merosot, kemakmuran rakyat terasa tidak adil dan tidak merata.

Kini, sudah saatnya rakyat menuntut haknya kembali. Apalagi Wagubsu Gatot Pudjonugroho telah menuai janji-janji jaminan listrik tak lagi padam. “Wagubsu yakin kebutuhan listrik untuk masyarakat kawasan Medan bisa tertangani dalam dua bulan ke depan. Saya juga ke Jakarta untuk menemui orang-orang yang bisa membantu mengatasi kelangkaan arus listrik di Sumut.” (Waspada, 25/6/’08). Namun, apa realisasinya yang terasa sampai sekarang ini? Bahkan sudah berjalan setahun lebih terhitung sejak pernyataan itu terbit, tidak lain janji-janji itu hanya kekonyolan belaka. Kebutuhan listrik tak berhasil tertangani, justru rakyat yang selalu menanggung rugi.

Sekali lagi, Gubernur Sumut dan PLN sangat diharapkan harus lebih cekatan dalam mengatasi pemadaman listrik secara bergilir ini. Guna tercapainya percepatan roda pendidikan, ekonomi, industri dan inovasi sector pelayanan public. Disamping pentingnya ketersediaan sumber energi listrik bagi masyarakat, energi listrik juga merupakan salah satu penyokong sumber daya saing.

Ketersediaanya energi listrik yang memadai adalah prasyarat berinvestasi bagi investor. Karena ketersediaan listrik dapat memungkinkan orang dan mesin bekerja lebih lama dan lebih produktif. Nah, berangkat dari semua hal inilah, bagaimanapun caranya, hentikan pemadaman listrik! Sudah saatnya pula, peningkatan pelayanan PLN lebih mengutamakan kenyamanan dan kepentingan rakyat, bukan hanya menerima uang rakyat. Program duet Syamsul Arifin dan Gatot Pudjonugroho tidak boleh terhambat karena hal pemadaman listrik bergilir yang tak kunjung usai. Rakyat tidak boleh lapar, rakyat tidak boleh sakit, rakyat tidak tetap bodoh!!!



Penulis adalah mahasiswa S1 Antropologi FISIP USU,
dan mahasiswa S1 Hukum UMSU.