Arsip Blog

Senin, 25 Juli 2011

Nyanyian Nazaruddin (Korupsi) Dalam Perspektif Antropologi

Saat sekarang ini, siapa yang tidak kenal dengan nama Nazaruddin?. Ya, masyarakat akrab sekali dengan nama ini. Nazaruddin bukanlah seperti yang masuk dalam daftar nama nyanyian “Udin Sedunia”, yaitu Si Udin yang suka bernazar. Nazaruddin yang dimasukkan disini adalah Nazaruddin yang masuk dalam daftar nama Koruptor Buronan. Kita tahu bersama seperti yang sampai sekarang ini menjadi hot news, baik di media cetak maupun media elektronik ‘Nyanyian’ Nazaruddin terasa merdu sekali. Walaupun di satu pihak ‘nyanyian’nya sungguh sangat memekakkan telinga, Nazaruddin saat ini layaknya kesatria bergitar saja bagi masyarakat ataupun lawan politis Partai Demokrat.

Daftar Korupsi yang dilakukan oleh Pejabat/Pemerintah sudah sangat memenuhi wajah buram Negeri ini. Praktik korupsi ini sungguh selalu membuat masyarakat geram, ironisnya pelakunya sendiri adalah orang-orang terhormat, berdisiplin ilmu dan cukup berpengaruh di Negeri ini. Dari Aulia Pohan, Al Amin Nasution, bahkan pejabat yang pernah tercatat sebagai menteri pada kabinet era SBY sampai pada kasus Korupsi Nazaruddin (Wisma Atlet, Palembang), Bendahara Partai Demokrat, partai pemerintah yang terang berjanji akan memberantas korupsi ‘Katakan TIDAK! Pada Korupsi’ seperti pada slogan kampanyenya.

Dalam tulisan ini, pembahasan pada tuduhan Nazaruddin yang kerap disampaikannya di media. Seperti yang kita tahu bersama, melalui pesan singkat (SMS/BBM) dan penayangan langsung video (lewat Skype) di televisi Nasional, Nazaruddin ‘bernyanyi’ dengan lantangnya membeberkan nama-nama pejabat yang terkait dalam kasus korupsi yang menjeratnya. Berikut beberapa perspektif antropologi yang dapat menerangkan fenomena yang menggeramkan ini.


The Gift
Dalam karya Antropolog asal Perancis, Marcel Mauss (The Gift, 1954), The Gift yang dimaksudkan di sini adalah sebagai wujud pemberian atau tukar pemberian (hadiah). Teori Marcel Mauss yang dikenal dengan gift giving atau gift exchange menyatakan, bahwa adanya relasi dan interaksi sosial antarwarga dalam masyarakat primitif yang berlangsung secara harmonis dan adanya kedekatan kekerabatan. Pemberian dan saling tukar-menukar hadiah ini merupakan suatu cerminan hubungan baik kedekatan antarpersonal dan hubungan sosial yang terjalin. Terlihat disini bahwa ‘the gift’ atau pemberian menjelma sebagai sebuah simbol, moralitas dan etika sosial di tengah masyarakat. Coba bayangkan sejenak, apabila seseorang atau Anda diberi hadiah, apakah ada rasa di hati kecil Anda untuk membalas pemberian tersebut di lain waktu? Biasa kita kenal dengan istilah ‘balas budi’. Ya, ‘balas budi’ kerap kita rasakan ketika mendapatkan pemberian atas kebaikan hati orang lain. Dalam ‘balas budi’ ini tentu membalasnya dengan hadiah atau pemberian yang setara, bahkan dengan pemberian yang nilainya lebih dari apa yang pernah diberikan oleh orang tersebut. Apabila ‘balas budi’ ini lebih rendah nilainya tentu ada rasa malu, atau biasa dikenal dengan istilah ‘enggak enak hati’. Inilah bentuk penghormatan kepada sesama warga dalam etika sosial bermasyarakat.
Sekarang ini, adanya suatu nilai yang bergeser dari pemberian dan ‘balas budi’ seperti yang tersebut di atas. Terlebih dalam kehidupan masyarakat modern, ‘the gift’ atau sebuah pemberian sudah semakin bergeser ke arah yang bermaksud sebagai ‘uang rokok’, ‘uang pelicin’, bahkan sebagai ‘uang kongsi’ untuk melanggengkan praktek-praktek penyelewangan di tengah-tengah masyarakat. Hal ini tergambar dalam ‘nyanyian-nyanyian’ nazaruddin yang kerap menyatakan memberi sekian jumlah rupiah terhadap rekan sesama Parpol, pejabat kementerian, bahkan ke pejabat DPR dengan tujuan ‘lancarnya’ suatu proyek yang dijalankan.

Patron Klien
Patron Klien masih sangat terasa sekali di Negeri ini, seakan sulit disingkirkan. Penguasa Negeri ini selalu bertindak sebagai patron yang membangun hubungan patronase dengan klien-klien yang sepenuhnya bergantung kepada sang patron, penguasa sebagai pemegang kekuasaan politik. Hal ini tergambar dalam teori Negara Patrimonial, menempatkan penguasa elite politik sebagai pemegang kekuasaan yang sebagian besar menguasai sumber daya ekonomi dan politik.
Patron Klien tergambar jelas dalam tatanan Negara ini, adanya hubungan anggota DPR dengan Birokrat dan Pengusaha. Pejabat-pejabat yang duduk di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) bertindak selaku patron terhadap birokrat dan pengusaha yang bertindak sebagai klien. Terang saja, dalam hubungan patron klien ini para birokrat kerap melakukan lobi-lobi (mereka sih menyebutnya lobi-lobi politik) dan memberi suatu pemberian kepada anggota DPR dengan tujuan mendapatkan ‘balas budi’ yaitu kebijakan dan anggaran dengan alasan pembangun cepat disetujui. Begitu juga halnya dengan Pengusaha, baik secara langsung maupun tidak langsung adanya keharusan kerap memberikan suatu pemberian kepada anggota DPR dan birokrat untuk segera mendapatkan ‘balas budi’ yaitu memperoleh bagian dalam sumber daya ekonomi dan politik.
Hal tersebut di atas juga tergambar dalam setiap ‘nyanyian’ Nazaruddin. Nazaruddin dalam sangkaannya menyebutkan beberapa anggota DPR, anggota partai dan kementerian selaku birokrat yang ikut terlibat mendapat ‘kue’ dalam kasus Korupsi yang melilitnya.
Tulisan ini bukanlah untuk menyangkakan bahwa ‘nyanyian’ Nazaruddin ada benarnya, karena memang sampai sekarang ini kebenaran secara hukum belumlah diputuskan. Setidaknya pengakuan Nazaruddin sudah mengarah ke hal tersebut, dan banyak pelaku sebelum Nazaruddin, seperti yang dilakukan Al-Amin Nasution misalnya seorang pejabat Negara yang benar melakukan praktek tersebut. Kalau sampai sangkaan Nazaruddin tersebut benar, semoga Hukum Negeri ini secara tegas tak pandang bulu ikut memenjarakan sang patron dan birokrat. Namun, sampai sekarang ketegasan Hukum di Negera ini memang masih sangat diragukan, demikian pula seperti apa yang menjadi alasan Nazaruddin tak kunjung kembali ke tanah air. Mungkin Nazaruddin tak mau mengulang trauma si Gayus Tambunan yang terjebak oleh iming-iming bakal dikawal, mungkin .. . Nah, semoga ini cermin bagi Hukum dan Pemerintah Indonesia, segera berbenah dan benar memenangkan siapa yang benar dan tak segan mengurung siapa yang salah. Semoga kepentingan rakyat secara luas lah yang diperjuangkan dalam setiap kebijakan, bukan para penguasa apalagi pengusaha. Dan, semoga Si Nazar yang suka bernazar segera pulang ke Tanah Air ... “Loh?!! Hwe.. :D