Arsip Blog

Sabtu, 24 Maret 2012

Sucking Bamboo Present, We are Back!!!

Salah satu performance band indie Medan yang mengisi acara yang diselenggarakan komunitas musik indie Medan Indie Voice di gedung Terminal Futsal, Medan (24/03). Band-band indie Medan yang berpartisipasi di acara yang ber...tajuk "Sucking Bamboo Present, We are Back!!!" diantaranya ada Jerusalem, Rumput, Pretty Ghost Bride, Fireworks, Darren and The Black Cats, D.O.S.N, Juice Boy, dan yang lainnya. Acara ini dimulai dari pukul 19.00 sampai 12.00 dengan tiket masuk bagi penonton dikenakan Rp.10.000.





PEMANTAPAN KETAHANAN NASIONAL NKRI MELALUI PENDEKATAN KEBAHASAAN (Deli Serdang)

Indonesia telah dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki beraneka ragam suku bangsa. Dari bermacam suku bangsa di Indonesia juga melahirkan bermacam bahasa yang ikut mewarnai keharmonisan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Keragaman bahasa yang lahir dari bermacam suku bangsa tersebut ikut memperkaya budaya Nasional Republik Indonesia. Termasuk salah satunya kabupaten Deli Serdang, yang merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.

Deli Serdang
Deli Serdang merupakan salah satu daerah heterogen yang terdapat di Indonesia, yaitu daerah yang memiliki bermacam suku bangsa dan bahasa dan tidak ada suku bangsa yang mendominasi, seperti halnya di daerah Jawa ataupun Aceh yang merupakan daerah homogen.

Sejarah singkat mengenai Deli Serdang, Sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, Kabupaten Deli Serdang yang dikenal sekarang ini merupakan dua pemerintahan yang berbentuk Kerajaan (Kesultanan) yaitu Kesultanan Deli yang berpusat di Kota Medan, dan Kesultanan Serdang berpusat di Perbaungan (± 38 km dari Kota Medan menuju Kota Tebing Tinggi). Dalam masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS), keadaan Sumatera Timur mengalami pergolakan yang dilakukan oleh rakyat secara spontan menuntut agar NST (Negara Sumatra Timur) yang dianggap sebagai prakarsa Van Mook (Belanda) dibubarkan dan wilayah Sumatera Timur kembali masuk Negara Republik Indonesia. Para pendukung NST membentuk Permusyawaratan Rakyat se Sumatera Timur menentang Kongres Rakyat Sumatera Timur yang dibentuk oleh Front Nasional.

Negara-negara bagian dan daerah-daerah istimewa lain di Indonesia kemudian bergabung dengan NRI, sedangkan Negara Indonesia Timur (NIT) dan Negara Sumatera Timur (NST) tdak bersedia. Akhirnya Pemerintah NRI meminta kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) untuk mencari kata sepakat dan mendapat mandat penuh dari NST dan NIT untuk bermusyawarah dengan NRI tentang pembentukan Negara Kesatuan dengan hasil antara lain Undang-Undang Dasar Sementara Kesatuan yang berasal dari UUD RIS diubah sehingga sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Atas dasar tersebut terbentuklah Kabupaten Deli Serdang seperti tercatat dalam sejarah bahwa Sumatera Timur dibagi atas 5 (lima) Afdeling, salah satu diantaranya Deli en Serdang, Afdeling ini dipimpin seorang Asisten Residen beribukota Medan serta terbagi atas 4 (empat) Onderafdeling yaitu Beneden Deli beribukota Medan, Bovan Deli beribukota Pancur Batu, Serdang beribukota Lubuk Pakam, Padang Bedagai beribukota Tebing Tinggi dan masing-masing dipimpin oleh Kontrolir. Selanjutnya dengan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Timur tanggal 19 April 1946, Keresidenan Sumatera Timur dibagi menjadi 6 (enam). Kabupaten ini terdiri atas 6 (enam) Kewedanaan yaitu Deli Hulu, Deli Hilir, Serdang Hulu, Serdang Hilir, Bedagei / Kota Tebing Tinggi pada waktu itu ibukota berkedudukan di Perbaungan. Kemudian dengan Besluit Wali Negara tanggal 21 Desember 1949 wilayah tersebut adalah Deli Serdang dengan ibukota Medan meliputi Lubuk Pakam, Deli Hilir, Deli Hulu, Serdang, Padang dan Bedagei.

Pada tanggal 14 November 1956. Kabupaten Deli dan Serdang ditetapkan menjadi Daerah Otonom dan namanya berubah menjadi Kabupaten Deli Serdang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948 yaitu Undang-Undang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dengan Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun 1956. Untuk merealisasikannya dibentuklah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Dewan Pertimbangan Daerah (DPD). Tahun demi tahun berlalu setelah melalui berbagai usaha penelitian dan seminar-seminar oleh para pakar sejarah dan pejabat Pemerintah Daerah Tingkat II Deli Serdang pada waktu itu (sekarang Pemerintah Kabupaten Deli Serdang), akhirnya disepakati dan ditetapkanlah bahwa Hari Jadi Kabupaten Deli Serdang adalah tanggal 1 Juli 1946. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1984, ibukota Kabupaten Deli Serdang dipindahkan dari Kota Medan ke Lubuk Pakam dengan lokasi perkantoran di Tanjung Garbus yang diresmikan oleh Gubernur Sumatera Utara tanggal 23 Desember 1986. Demikian pula pergantian pimpinan di daerah inipun telah terjadi beberapa kali. Dulu daerah ini mengelilingi tiga “daerah kota madya” yaitu kota Medan yang menjadi ibukota Provinsi Sumatera Utara, kota Binjai dan kota Tebing Tinggi disamping berbatasan dengan beberapa Kabupaten yaitu Langkat, Karo, dan Simalungun, dengan total luas daerah 6.400 km² terdiri dari 33 Kecamatan dan 902 Kampung. Tahun 2004 Kabupaten ini kembali mengalami perubahan baik secara Geografi maupun Administrasi Pemerintahan, setelah adanya pemekaran daerah dengan lahirnya Kabupaten baru Serdang Bedagai sesuai dengan UU No. 36 Tahun 2003, sehingga berbagai potensi daerah yang dimiliki ikut berpengaruh.

Dengan terjadinya pemekaran daerah, maka luas wilayahnya sekarang menjadi 2.394,62 km² terdiri dari 22 kecamatan dan 403 desa/kelurahan, yang terhampar mencapai 3,34% dari luas Sumatera Utara. Keanekaragaman etnis di Deli Serdang terlihat dari jumlah Penduduk Deli Serdang terdiri dari: Suku Melayu 55%, Suku Jawa 18%, Suku Karo 10%, selebihnya terdiri dari: Suku Batak, Minang, Tionghoa dll. (http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Deli_Serdang)

Bahasa dan Budaya
Bahasa Deli Serdang dikenal santun berlogat, yaitu merupakan campuran dari bahasa Melayu, Batak, Tionghoa, Jawa dan suku-suku bangsa lainnya yang terdapat di kota Medan. Kebiasaan masyarakat Deli Serdang dengan logatnya, seperti halnya membilangkan bagaimana dengan ‘macem mana’ atau “kek mana” dan lainnya. Deli Serdanh yang dikenal dengan “Tanah Melayu”, hal kebahasaan Deli Serdang tersebut belum dapat dikategorikan sebagai gejala yang membahayakan semangat persatuan bangsa bila dilihat dari sifat hubungan formal dan akrab. Meskipun halnya tersebut menyalahi aturan Bahasa Indonesia yang baik dan benar (KBBI), Gejala kebahasaan demikian lazim terjadi dalam masyarakat dwibahasa. Dalam kasus tertentu mungkin dapat dipandang sebagai kreativitas ekspresif kelompok masyarakat Deli Serdang.
Namun, apabila pemakaian bahasa campuran itu lebih cenderung mencerminkan kurangnya rasa tanggung jawab dalam berbahasa dan lebih berorientasi pada kebudayaan asing atau fanatisme kedaerahan, ketahanan nasional dapat terancam. Kendurnya semangat nasional pada sebagian kalangan masyarakat pada hakikatnya merupakan masalah politik. Dan hal tersebut salah satunya tercermin dalam perilaku berbahasa.

Kurangnya penguasaan bahasa Indonesia bagi masyarakat Deli Serdang menjadi salah satu penyebabnya. Bahkan sebagian besar mereka yang telah memperoleh pendidikannya, tetapi penguasaan bahasa Indonesianya secara lisan apalagi tertulis masih jauh di bawah mutu yang seharusnya. Bila tetap dibiarkan akan dapat menjadi tendensi regresif dalam peran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Gillin dalam Soekanto (2002:71-104) menjelaskan ada dua golongan proses sosial sebagai akibat interaksi sosial, yaitu proses asosiatif dan proses disasosiatif. Proses asosiatif adalah sebuah proses yang terjadi saling mengerti dan kerja sama timbal balik antara orang per orang atau kelompok satu dengan yang lainnya. Proses asosiatif tersebut antara lain, kerja sama dan akomodasi. Beberapa bentuk kerja sama adalah gotong- royong dan kerja bakti, bargaining, co-optation, coalition, joint-venture. Adapun akomodasi menurut Bungin (2006:60) adalah proses sosial yang memiliki dua makna,
(a) proses sosial yang menunjukkan pada suatu keadaan yang seimbang (equilibrium) dalam interaksi sosial antara individu dan antarkelompok dalam masyarakat, terutama yang menyangkut norma-norma dan nilai-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat tersebut;
(b) menuju pada suatu proses yang sedang berlangsung, misalnya meredakan pertentangan yang terjadi di masyarakat. Bentuk-bentuk akomodasi adalah coercion, compromise, mediation, conciliation, toleration, stalemate, dan adjudication.
Proses akomodasi berlanjut pada proses asimilasi, yaitu proses pencampuran dua atau lebih budaya yang berbeda sebagai akibat dari proses sosial, yang kemudian menghasilkan budaya sendiri yang berbeda dengan budaya asalnya. Bungin (2006:62) menjelaskan proses asimilasi terjadi apabila ada (1) kelompok-kelompok yang berbeda kebudayaannya, (2) individu sebagai warga kelompok bergaul secara intensif untuk waktu yang relatif lama, (3) kebudayaan dari masing-masing kelompok saling menyesuaikan terakomodasi satu dengan lainnya, (4) menghasilkan budaya baru yang berbeda dengan budaya induknya. Secara budaya atau kultural, proses asimilasi ini penting bagi masyarakat Deli Serdang.

Bahasa Indonesia Sebagai Alat Pemersatu Bangsa
Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 di Jakarta, butir ketiga dari Sumpah Pemuda tersebut berbunyi sebagai berikut “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Hal tersebutlah yang merupakan cikal bakal lahirnya Bahasa Indonesia dan diakui sebagai bahasa Nasional Indonesia.
Bahasa Indonesia merupakan alat komunikasi paling penting dalam dunia perdagangan, pendidikan, perhubungan tingkat nasional, pembangunan budaya, dan pemanfaatan iptek modern. Oleh karena itu, Bahasa Indonesia harus terus ditata dan dikembangkan agar tetap berperan sebagai alat komunikasi dalam berbagai aktivitas masyarakatnya, seperti ekonomi, hukum, sosial, budaya, politik, dan yang lainnya.

Kesimpulan
Deli Serdang sebagai daerah heterogen, yaitu penduduknya terdiri dari bermacam suku bangsa dan bahasa. Baiknya hal ini sebagai penambah ragam kekayaan budaya bangsa Indonesia. Dalam hal interaksi sosial, bahkan sudah banyak terjadi perkawinan campuran darah di antara berbagai etnis ( Melayu, Batak, Jawa, Tionghoa,dll).

Bahasa yang digunakan untuk pergaulan dalam kelompok etnisnya adalah bahasa daerah masing-masing (Melayu, Jawa, Batak, Tionghoa, dll.). Secara formal, Bahasa Indonesia kerap digunakan oleh masyarakat Deli Serdang meskipun masih kaya dengan perbendaharaan kata-katanya yang biasa dikenal dengan “logat Melayu/Medan”.
Bahasa Indonesia sebagai salah satu bahasa nasional Indonesia merupakan suatu kemenangan dan kebanggaan tersendiri bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ada Negara yang seakan tak memiliki bahasa persatuan, masih bercampur aduk antara bahasa lokal dan bahasa luar negeri. Bahasa Indonesia yang berfungsi sebagai alat pemersatu bangsa, seharusnya bisa memperkikis fanatisme kedaerahan, bahkan seperti bahasa Inggris yang merupakan salah satu dampak globalisasi. Sebaiknya hal tersebut dapat memperkaya pengetahuan masyarakat, jangan sampai justru menjadikannya sebagai pengkikis rasa nasionalisme berbahasa Indonesia. Pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia harus terus dilakukan dalam seluruh lapisan masyarakat. Bahasa Indonesia juga merupakan bahasa modern, yang bisa menjembatani berbagai aktivitas masyarakatnya.


Daftar Bacaan

Bungin, Burhan. 2006. Sosiologi Komunikasi, Teori, Paradigma, dan Diskursus
Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta : Kencana Predana Media Group.

http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Deli_Serdang



*tulisan ini disampaikan pada Seminar "PEMANTAPAN KETAHANAN NASIONAL NKRI MELALUI PENDEKATAN KEBAHASAAN" yang diselenggarakan oleh LSM Tim Relawan Peduli Kesehatan dan Kementerian Dalam Negeri oleh Drs. Agustrisno, MSP. di Tanjung Morawa, Deli Serdang, Sumatera Utara pada bulan Februari 2012.