Arsip Blog

Selasa, 26 Februari 2013

Antropologi Visual “Man Behind The Gun”


Oleh; Fauzi Abdullah
Berbicara mengenai antropologi tentu tidak lepas kaitannya dengan karya-karya etnografi yang dihasilkan oleh ahli-ahli antropologi. Yaitu berupa tulisan atau wujud karya dari hasil penelitian lapangannya. Biasa karya tersebut berupa tulisan yang secara gamblang mengenai budaya masyarakat yang diteliti, tentunya tidak terlepas pula dengan pendekatan ilmu antropologi. Seperti halnya dengan ilmu-ilmu lain, ilmu antropologi juga semakin berkembang, baik dari segi keilmuannya maupun metodologisnya. Antropologi visual misalnya, antropologi visual adalah bagian dari ilmu antropologi. Antropologi visual menawarkan pendekatan secara visual yang berbeda dari karya-karya etnografi yang biasanya dihasilkan oleh ahli-ahli antropologi dalam bentuk tulisan.
Antropologi visual memandang bahwa budaya diwijudkan melalui simbol-simbol yang terlihat terwujud dalam suatu gerakan, ritual, upacara, serta materi/artefak yang ada yang dibangun secara alami. Budaya dipahami sebagai hal yang termanifestasi dalam sebuah cerita yang melibatkan masyarakat sebaga pelaku budaya yang terwujud dari bermacam pengaturannya. Budaya adalah keseluruhan dari skenaria yang telah dibangun dimana masyarakat sebagai pelaku budaya berpartisipasi di dalamnya.
Dari hal tersebut, ahli antropologi visual menggunakan teknologi audiovisual untuk merekam, sebagai suatu upaya melihat budaya sebagai data analisis ataupun penyebaran karya etnografis. Dalam prakteknya, antropologi visual terutama yang didominasi oleh kepentingan media berfungsi sebagai sarana komunikasi pengetahuan antropologi, budaya yang termanifestasi dalam bentuk foto etnografi maupun film etnografi.
Menurut Eric W. Rothenbunhler & Mihai Coman (2005, hal. 149) mengungkapkan bahwa ada beberapa alasan mengapa antropologi visual itu penting. Pertama, dapat menangkap tiga momen penting dalam proses penelitian, Kedua, antropologi visual terutama relevan untuk proyek pengembangan penelitian yang mencari pemahaman untuk berbagai penggunaan sosial media kontemporer.
Dengan pendekatan teknologi audiovisual yang ditawarkan oleh antropologi visual ini, dapat mengikis penelitian yang berbias subyektif karena perangkat teknologi kamera sebagai jaminan bahwa rekaman visual tentu bersifat objektif. Eric W. Rothenbunhler & Mihai Coman (2005, hal.150) menyatakan, para antropolog-pun langsung tertarik, melihat mata mekanis kamera sebagai jaminan bahwa rekaman visual akan “objektif”, tidak terpengaruh oleh bias subjektif.
Man Behind The Gun
Pada proses penelitian lapangan, analisis dan representasi, antropologi visual mempunyai komitmen menggunakan teknologi visual yang tersedia. Dalam memproduksi gambar budaya, ada beberapa hal yang biasa digunakan dalam antropologi visual, yaitu fotografi atau karya Foto Etnografi atau video (Film Etnografi).
Dengan pendekatan fotografi, tentunya ahli antropologi visual mempunyai etika tersendiri dalam menghasilkan setiap karya-karyanya. Untuk pendekatan dengan fotografi, fotografer membutuhkan ijin dari partisipan, meskipun tidak selalu diperlukan untuk kolaborasi berikutnya (Eric W. Rothenbunhler & Mihai Coman, 2005, hal.153).
Begitu juga halnya video dalam menghasilkan karya film etnografi, peneliti dan informan terlibat langsung dalam proses penggarapannya. Metode ini melibatkan peneliti dan informan untuk bekerja sama menunjukkan dan mengeksplorasi aspek dari kehidupan mereka sehari-hari (Eric W. Rothenbunhler & Mihai Coman, 2005, hal.156).
Karya antropologi visual sungguh berbeda dengan karya-karya yang dihasilkan oleh fotografer ataupun videographer. Meskipun secara kasatmata sedikit sekali perbedaannya bahkan hamper sama saja, namun antropologi visual tetaplah menggunakan pendekatan ilmu antropologinya. Sebuah esai foto misalnya, hanya bisa berbicara bila disajikan dalam rangkaian hanya dengan beberapa foto saja. Tapi sebuah karya antropolog visual dapat mengisi jarak antara 4-5 foto itu menjadi ribuan foto. Sebuah penelitian dari seorang perintis atropologi Margaret Mead yang bekerja sama dengan Gregory Bateson dalam penelitiannya di selat Torres. Dalam penelitiannya di Bali tahun 1936-1938, mereka menghasilkan 25.000 foto dan 22.500 feet film. Usaha mereka menghasilkan sebuah karya berjudul Balinese Character: A Photographic Analysis, yang diterbitkan tahun 1942. Hal tersebut berarti bahwa, ada keterkaitan erat antara dua pendapat, dimana sebuah budaya dapat diteliti secara obyektif dan kepercayaan atas kenetralan, transparansi, keobyektifan teknologi audio visual. Realitas dapat direkam dan menjadi obyek penelitian. Teknologi semakin berkembang pesat, seperti halnya saat sekarang ini. Media internet sudah memperlihatkan manfaatnya baik bagi masyarakat maupun bagi dunia keilmuan. Penyebar luasan karya-karya etnografi antropologi visual ini diharapkan semakin berkembang pesat pula, seiring dengan perdebatan yang masih mempertanyakan tentang keberadaan antropologi visual. Sejak tahun 1990-an, antropolog telah menjadi bagian dari pergerakan yang umum ini dan mulai mengembangkan cara baru untuk merepresentasikan penelitian visual dalam kemunculan lingkungan hypermedia. Dengan perkembangan internet telah membawa kehidupan baru, yang dalam visi Andre Malraux disebut sebagai “museum tanpa dinding”.
Seperti yang telah saya ungkapkan tadi di atas, bahwa tipisnya perbedaan antropologi visual dengan dokumenter bila dilihat secara sekilas. Karya fotografer dan videographer bisa saja sama seperti yang dihasilkan oleh antropolog visual. Namun pelaku sang pembuat karya lah yang dapat membuat ini berbeda. Dalam hal ini teknologi itu hanya menjadi cermin dari realitas. Antropolog visual berusaha seminimal mungkin melepaskan diri dari budaya asalnya, man behind the gun.
*Penulis adalah alumni Antropologi USU, fauziabdullah1@gmail.com