Arsip Blog

Minggu, 25 November 2012

Hukum adalah Masalah Remeh-temeh Kehidupan Sehari-hari

Berbicara mengenai hokum tentu tidak lepas kaitannya dengan kehidupan manusia dalam bermasyarakat, baik dalam kelompok, antar kelompok ataupun bernegara. Dengan begitu tidak pelak dikatakan bahwa hokum dan manusia sangat erat kaitannya. Bila ditilik dari pengertian hokum itu sendiri, begitu banyak para sarjana mendefenisikan arti hokum. Pendefenisian tersebut tentu sangat terpengaruh oleh sudut pandang yang digunakan para ahli. Dari segi ilmu hokum sendiri, hokum secara sederhana dapat diartikan sebagai proses berpikir ataupun ilmu yang mempelajari hokum positif. Namun di sini saya tidak maksud berpanjang lebar membahas hokum sebagai ilmu yang mempelajari hokum positif, melainkan dari sudut pandangan antropologis.
Antropologi dan Pluralisme Hukum
Secara harfiah Antropologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari Antropos yang berarti manusia, dan Logos yang berarti ilmu. Secara sederhana antropologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari manusia baik dari segi hayati maupun budaya. Berbicara antropologi erat kaitannya dengan metode empiris yang selalu melekat dalam ilmu antropologi dalam mempelajari manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Seperti yang sudah kita perbincangkan sebelumnya di atas mengenai hokum, bahwa kehidupan masyarakat tidak lepas kaitannya dengan hokum. Bagaimana hukum bekerja sebagai alat pengendalian sosial atau sarana untuk menjaga keteraturan sosial dalam masyarakat, dan bagaimana hukum berfungsi dalam kehidupan masyarakat. Begitu banyak hokum yang berlaku di tengah masyarakat. Majemuknya masyarakat, semakin beragamnya masyarakat baik dalam suatu Negara maupun Negara-negara lainnya, begitu majemuk pula hokum yang berlaku. Seperti yang telah ketahui bersama, Hukum Indonesia sampai sekarang masih sangat terpengaruh oleh produk-produk hokum Belanda. Hal ini tentu berawal dari penjajahan zaman colonial Belanda, belanda memberlakukan hokum yang berlaku di Negaranya untuk diberlakukan pula di Negara-negara jajahannya. Meskipun sampai sekarang Hukum di Indonesia masih terpengaruh oleh Hukum Belanda, namun ada beberapa hokum yang berlaku di Indonesia seperti Hukum Agraria dan Hukum Adat Indonesia sudah tidak lagi merupakan produk hokum Belanda. Begitulah hokum, begitu beragam sebagaimana beragamnya manusia. Begitu majemuknya hokum yang hidup dan berkembang di masyarakat sebagai wujud dari pluralisme hokum, hal ini pula lah yang menjadi perhatian kajian antropologi, khususnya antropologi hokum.
Antropologi Hukum
Antropologi Hukum sebagai suatu cabang dari ilmu antropologi yang mengkhusukan mengkaji permasalahan-permasalaham hokum dan budaya. Adapun budaya hokum yang dimaksudkan di sini adalah kekuasaan yang digunakan oleh penguasa untuk mengatur kehidupan masyarakatnya agar tidak melanggar norma-norma yang berlaku. Kajian hokum secara antropologis awalnya bukanlah dilakukan oleh ahli hokum, melainkan dari ahli-ahli antropologi hokum. Sir Henry Maine dipandang sebagai tokoh antropologi hokum. Karena karya Sir Henry Maine yang bertajuk The Ancient Law tahun 1861 dianggap sebagai karya antropologi hokum pertama melalui introduksi teori evolusionistik (the evolusionistic theory) mengenai masyarakat dan hukum, yang secara ringkas menyatakan : hukum berkembang seiring dan sejalan dengan perkembangan masyarakat, dari masyarakat yang sederhana (primitive), tradisional, dan kesukuan (tribal) ke masyarakat yang kompleks dan modern, dan hukum yang inherent dengan masyarakat semula menekankan pada status kemudian wujudnya berkembang ke bentuk kontrak (Nader, 1965; Roberts, 1979; Krygier, 1980; Snyder, 1981). Ya, pada awalnya memang antropologi hokum mengkaji fenomena-fenomena hokum yang hidup pada masyarakat-masyarakat terdahulu (primitive), kesukuan atau biasa kita sebut sebagai masyarakat tradisional. Namun seiring perkembangannya hingga sekarang, Karya Barton, misalnya, yang berjudul Ifugao Law yang dipublikasikan pertama kali pada tahun 1919 merupakan hasil dari fieldwork yang intensif dalam masyarakat suku Ifugao di Pulau Luzon Philipina. Kemudian, muncul karya Malinowski berjudul Crime and Custom in Savage Society yang pertama kali dipublikasikan pada tahun 1926 adalah hasil studi lapangan yang komprehensif dalam masyarakat suku Trobrian di kawasan Lautan Pasific, dan seterusnya sampai sekarang metode fieldwork menjadi metode khas dalam studi-studi antropologi hukum. Hingga sekarang antropologi hokum mulai menyoroti pluralism hokum yang hidup di tengah masyarakat. Seperti karyanya K. Von Benda-Beckmann (1984) yang mengkaji tentang penyelesaian sengketa harta warisan di kalangan orang Minangkabau menurut pengadilan adat dan di pengadilan negeri di Sumatera Barat. Kemudian, studi-studi pluralisme hukum lainnya disebut oleh F. von Benda-Beckmann (1989) sebagai fase the anthropology of legal pluralism. Hukum dalam dari segi antropologis tidak memandang hokum sebagai peraturan perundang-undangan secara kaku yang diberlakukan dalam suatu Negara, namun hokum sebagai kebiasaan masyarakat yang sudah menjadi yang berfungsi sebagai sarana pengendalian social serta berlaku, disepakati serta dijalankan secara bersama-sama dalam kehidupan bermasyarakat. Menurut Moore (1978) hokum dipelajari sebagai proses social yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Propisil (1971) bahkan memandang hokum sebagai bagian yang integral dari kebudayaan secara keseluruhan, dan karena itu hukum dipelajari sebagai produk dari interaksi sosial yang dipengaruhi oleh aspek-aspek kebudayaan yang lainnya, seperti religi, ekonomi dan politik, dan yang lainnya. Ada beberapa metode yang biasa dipakai dalam antropologi huku, yaitu : 1. Historis yang mempelajari kehidupan manusia melalui sejarah kebiasaan yang hidup di tengah masyarakat lalu menjadi adat,kemudian menjadi hukum adat, kemudian hokum adat yang dipertahankan ini pula yang dijadikan hokum dalam suatu Negara. 2. Eksploratif mempelajari kehidupan manusia dan budaya hukumnya melalui norma-norma hokum yang hidup dan tampak serta berlaku di tengah kehidupan masyarakat. 3. Studi Deskriftif Perilaku mempelajari kehidupan manusia yang melihat perilaku-perilaku yang menjadi kebiasaan masyarakat untuk mengatur ketentraman masyarakat tanpa melihat aturan hukum ideal. 4. Studi Kasus metode ini berangkat dari kasus-kasus yang ada di tengah masyarakat, yang terutama kasus mengenai perselisihan.
Hokum Negara masih dapat dapat dikritisi bahwa bukanlah suatu hokum yang begitu primadona, keadilan adalah suatu tujuan hokum, ketentraman masyarakat juga berpengaruh bagi berjalannya suatu hokum, hokum Negara tidak selayaknya justru menghilangkan identitas komunitas-komunitas local yang memberlakukan hokum sebagai suatu kebiasaanya sendiri. Dengan begitu, sudah selayaknya ada harmonisasi antara hokum Negara yang berlaku dengan hak-hak masyarakat dalam hokum. Hukum secara universal memang berbicara bagaimana seharusnya, guna mecapai tujuan utamanya adalah keadilan. Namun hal ini pula harus terlaksana dengan memperhatikan kapasitas manusia/masyarakat dalam mengonstruksi praktik-praktik hokum secara kesepakatan bersama. Kerja empiris, yang ditekankan dalam tradisi kulturalis, mengeksplorasi cara manusia menciptakan suatu makna hokum. Dari hal ini, memang focus diarahkan pada pengalaman sehari-hari dan yang dipakai secara luas secara pendefenisian antropologi hokum yang didefenisikan sebagai proses kehidupan manusia bermasyarakat dalam aktivitasnya sehari-hari yang tidak hanya terpaku pada hokum formal ataupun hokum positif. Namun dalam soal teori, ini adalah merupakan produk turunan dari pendekatan antropologi hokum, yang dapat dipandang begitu jauh berbeda bila dipandang dari segi Hukum Normatif.