Arsip Blog

Selasa, 29 Januari 2013

Perlindungan Perempuan Bukan Lelucon


Oleh : Fauzi Abdullah
Masih ingat dengan nama Daming Sanusi? Ya, beberapa hari ini nama Muhammad Daming Sanusi atau biasa disingkat dengan MDS tersebut akrab di telinga masyarakat luas. MDS sempat menjadi topik hangat di media, baik televisi, cetak maupun online. Hal itu berawal dari pernyataannya tentang kasus pemerkosaan dalam hukum, bahwa “pelaku dan korban perkosaan sama-sama menikmati”. Pernyataan tersebut muncul secara spontan dari mulut calon Hakim Agung tersebut saat fit and proper test di Komisi III DPR RI tanggal 14 Januari 2013.
Pernyataan tersebut disampaikan saat menjawab pertanyaan yang disampaikan anggota Komisi III, Andi Azhar. Dalam pertanyaan itu, Andi bermaksud menguji MDS terkait wacana penerapan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana perkosaan. “Kita harus melihat kasusnya terlebih dahulu. Kalau untuk narkoba dan korupsi, saya setuju hukuman mati. Tapi, untuk kasus perkosaan, harus dipertimbangkan lebih dulu karena yang diperkosa dengan yang memerkosa sama-sama menikmati. Jadi harus pikir-pikir terhadap hukuman mati” jawab MDS. Pasca pernyataan MDS tersebut, baik obrolan, berita maupun cercaan kepada MDS mengalir deras bak air bah, terutama di media sosial seperti twitter.
Tentu hal ini sangat disayangkan, terlebih MDS selaku calon Hakim Agung yang tentu sudah berpengalaman puluhan tahun menjadi hakim. Hakim yang seharusnya berperan sebagai “wakil Tuhan”, pelindung masyarakat, sebagai garda terakhir bagi keadilan, dianggap telah melecehkan, terutama kaum perempuan sebagai korban pelecehan seksual, begitulah tanggapan sebahagian besar masyarakat saat ini terhadap pernyataan MDS.
Fit and proper test di DPR yang formal dapat mempengaruhi psikis MDS berperilaku over-excited (kelewat senang) dan mungkin juga over-burdened (kelewat tertekan), sehingga melontarkan pernyataan tersebut. Namun, tetap saja pernyataan ini tidak dapat dimaklumi, terlebih dalam ranah formal di DPR RI. Tetap saja, dalam ranah hukum, kasus pemerkosaan bukanlah bahan candaan, perlindungan perempuan bukan bahan lelucon. Berangkat dari hal ini, tidak sedikit masyarakat mempertanyakan kembali kualitas MDS sebagai hakim. Ada baiknya kita belajar dari sejarah agar lebih bisa menghargai kaum hawa.
Paradara dan Perlindungan Perempuan
Historia magistra vitae, bukankah sejarah adalah guru bagi kehidupan? Sejarah adalah guru terbaik bagi kita, bagi setiap masa. Sejarah mengajarkan kita agar lebih bijaksana. Dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, Kartini menjadi tokoh pejuang paling penting bagi Negara ini. Dengan mendekonstruksi sistem budaya yang menempatkan perempuan sebagai kanca wingking kaum priya, Kartini telah berjuang dan meletakkan cita-cita perempuan Indonesia yang tidak hanya piawai dalam peran domestik, namun juga memiliki hak untuk piawai pula pada peran-peran publik. Begitu juga dengan perjuangan-perjuangan perempuan Indonesia lainnya dan perkumpulan perempuan Indonesia dalam sejarah perjuangan kebangsaan Indonesia. Dengan begitu, mengapa kita tidak belajar dari sejarah agar lebih peduli terhadap perlindungan perempuan?
Paradara berhubungan dengan berbagai sanksi yang dikenakan kepada orang yang berbuat tidak senonoh terhadap istri orang lain atau perempuan telah menikah. Paradara itu sendiri berarti istri orang lain. Paradara sangat dijunjung pada zaman Majapahit karena pandangan orang – orang Hindu Majapahit (Nusantara) adalah bahwa kesejahteraan umum tergantung pada ketenteraman dan kesejahteraan keluarga (khususnya istri/kaum perempuan). Oleh karena itulah, dalam Undang-Undang Agama (UU Majapahit) setiap usaha untuk mengacaukan keluarga orang lain adalah perbuatan yang sangat terlarang , bahkan juga dimuat pelarangan bagi lelaki untuk berbicara ditempat-tempat yang sepi dengan wanita yang telah bersuami, karena di tempat sepi itulah nafsu birahi sulit dikendalikan. Kesejahteraan keluarga adalah sumber bagi kesejahteraan masyarakat, sebab itulah konstitusi ini diberlakukan secara tegas di zaman Majapahit.
Konstitusi tersebut pertama kali ditemukan di Bali, ditulis dalam bahasa Jawa kuno. Konstitusi itu tentu menarik perhatian para sejarawan. Sejarawan Belanda misalnya, seperti JGG Jonker dan Friederich. Lalu ada Prof. Dr. Slamet Muljana, sejarawan asal Indonesia yang membantah penelitian JGG Jonker yang menyatakan bahwa Konstitusi Agama Majapahit berjumlah 275 pasal. Slamet membantah hal itu, karena ada dua pasal yang mengalami pengulangan dan satu pasal rusak.
Nah, dari sekian banyak pasal yang terdapat dalam konstitusi tersebut, terdapat beberapa pasal yang dikhususkan tentang perlindungan hak perempuan, yaitu Paradara. “Siapa menjamah (melecehkan) istri orang lain maka akan dikenakan denda oleh raja.” Denda yang dikenakan sangat bervariasi, yaitu tergantung pada strata sosial korban. Sanksi paling berat yang dikenakan adalah pemotongan tangan sebagai tanda bahwa orang itu telah melakukan pelecehan terhadap istri orang lain. Hal itu terdapat dalam pasal 198.
Kemudian ada pasal 207 yang berisi, “Siapa memegang seorang gadis, kemudian gadis itu berteriak dan menangis, sementara banyak saksi yang mengetahui kejadian tersebut, maka penggoda itu dikenakan pidana mati.” Ini beberapa contoh tegasnya konstitusi ini mengatur dan peduli terhadap perlindungan perempuan.
Disamping itu ada pasal yang mengatur tentang perzinaan, yang isinya “Siapa yang meniduri istri orang lain dikenakan pidana mati oleh raja maupun suami.” Lebih lengkap pasal ini mengatur, yaitu jika hanya pergi ke tempat tidur perempuan yang sudah bersuami dan belum terjadi perselingkuhan, dendanya dua laksa (20.000). Namun, apabila perzinaan itu atas suruhan orang, orang yang berperan sebagai pesuruh pun dikenakan sanksi, terlebih orang tersebut turut memfasilitasi memberikan tempat, hukuman mati yang dikenakan baginya.
Dari ketentuan hukum dalam Paradara yang telah ada di zaman Majapahit, kita mengetahui bahwa perlindungan perempuan telah lama menjadi perhatian dan tanggung jawab bersama, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka.
Wacana dan segala bentuk upaya memperjuangkan kembali kepedulian perlindungan terhadap perempuan bukanlah suatu hal karangan belaka. Perempuan juga memiliki peran penting dalam suatu Negara, tanpa perempuan apalah arti penting seorang pimpinan Negara. Perempuan adalah tiang Negara, tanpa perempuan apalah arti sebuah Negara. Oleh sebab itu, terang saja pernyataan MDS tersebut mendapat protes yang begitu mendalam dari seluruh kalangan masyarakat.
Walaupun kita bisa berkilah bahwa itu bermaksud untuk bercanda, namun tetaplah kita harus berhati-hati dalam berbicara dan memilih kata-kata. Inilah salah satu faktor mengapa pentingnya kita belajar dari sejarah. Kasus perkosaan bukanlah bahan candaan, perlindungan perempuan bukan lelucon. Sejarah mengingatkan kita untuk menjadi manusia yang lebih berkualitas dan bijaksana!
*Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum USU, Medan. emai : fauziabdullah1@gmail.com