Arsip Blog

Rabu, 05 Agustus 2015

Hercules (Tidak Boleh) Dikomersialkan


Masyarakat Kota Medan dihebohkan dengan peristiwa jatuhnya Pesawat Hercules milik TNI-AU di Jalan Jamin Ginting, Medan. Seperti yang diberitakan Harian Analisa (Rabu, 1 Juli 2015) pada halaman 1, bahwa pesawat Hercules C-130 milik TNI AU jatuh di kawasan rumah penduduk, yang menewaskan 101 penumpang berikut 12 awak pesawat. Selain itu, kecelakaan pesawat yang terjadi tepat sehari sebelum Hari Jadi Kota Medan yang jatuh pada 1 Juli ini, juga mengakibatkan warga sekitar dan seorang balita menjadi korban.

Hal yang tak kalah menarik di sini adalah pengakuan kerabat mendiang Ester Yosephine Sihombing dan Yunita Sihombing, dikatakannya kedua korban tersebut membayar tiket seharga Rp.800 ribu per orang. Dalam kesempatan tersebut, Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marskal Agus Supriatna berjanji jika ada bukti dikomersialkan, pihaknya akan memecat oknum yang terlibat.
Sebelumnya, peristiwa serupa pernah terjadi di tahun 2009 silam. Pesawat udara milik Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI-AU) yaitu pesawat Hercules C-103 yang terbang dengan jadwal rutin untuk pengiriman logistik dari pemberangkatan Lanud Halim Perdanakusuma Jakarta dengan tujuan akhir Biak. Dalam perjalanannya yang ternyata juga mengangkut penumpang penduduk sipil, pesawat Hercules tersebut jatuh pada saat akan mendarat di Lanud Iswahyudi Madiun.

Hercules Sebagai Alat Transportasi Penduduk Sipil

Hercules atau pesawat udara militer termasuk dalam pesawat udara angkut militer yang dikategorikan sebagai Military Transport Aircraft dalam dunia Internasional. Artinya, bahwa pesawat angkut militer biasa digunakan untuk transportasi pasukan dan peralatan perang, pengangkutan dan pengiriman kargo, juga termasuk dalam kategori pesawat angkut militer sebagai tanker udara yang berfungsi untuk pengisian bahan bakar sementara pesawat lainnya dalam penerbangan.

Berdasarkan Pasal 30 Konvensi Paris 1919, bahwa pesawat udara terdiri atas pesawat udara militer, pesawat udara yang sepenuhnya digunakan dinas pemerintahan seperti bea cukai, polisi, dan pesawat udara lainnya. Pesawat-pesawat udara selain pesawat udara militer, dinas pemerintahan seperti bea cukai dan polisi harus diperlakukan sebagai pesawat udara sipil (private aircraft) dan pesawat udara tersebut berlaku ketentuan yang terdapat dalam Konvensi Paris 1919. Sementara itu, Pasal 31 Konvensi Paris 1919 berbunyi “every aircraft commanded by a person in military service detailed for the purposed shall be deemed to be a military aircraft”, yang bermaksud bahwa setiap pesawat yang diperintahkan oleh seseorang yang bekerja dalam dinas militer dengan tujuan yang khusus dianggap sebagai pesawat udara militer.

Pasal 68 Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 berisikan “Dalam keadaan tertentu pesawat udara Negara dapat dipergunakan untuk keperluan angkutan udara sipil dan sebaliknya.” Keadaan tertentu yang dimaksudkan adalah apabila Pemerintah memerlukan transportasi untuk angkutan udara sedangkan yang tersedia hanya pesawat udara Negara, Pemerintah dapat menggunakan pesawat udara Negara. Begitu juga halnya Pemerintah dapat menggunakan pesawat udara Negara menjadi pesawat udara sipil sesuai dengan persyaratan pesawat udara sipil, begitu juga sebaliknya apabila pemerintah memerlukan pesawat udara untuk kegiatan Negara sedangkan yang tersedia hanya pesawat udara sipil, maka pesawat udara sipil dapat diubah menjadi pesawat udara Negara sesuai dengan persyaratan pesawat udara Negara. Penggunaan pesawat udara militer harus mendapatkan persetujuan dari Menteri Perhubungan Indonesia dan Panglima Komando Operasi (Koops I dan Koops II)

Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Militer
Indonesia terdapat beberapa peraturan perUndang-Undangan yang mengatur mengenai tanggungjawab pengangkut atau penyelenggara suatu penerbangan. Yaitu, UU No. 1 tahun 2009, Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1995 dan Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 tahun 2011 Tentang Tanggungjawab Pengangkut yang secara khusus mengatur tanggungjawab pengangkut atas penyelenggara suatu penerbangan.

Dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 tahun 2011 ini berisikan peraturan dimana setiap pengangkut yang mengoperasikan pesawat udara wajib untuk bertanggungjawab atas timbulnya kerugian yang diderita oleh penumpang. Namun dalam ketentuan ini akan batal dengan sendirinya apabila penumpang yang mengalami kerugian tidak dapat menunjukkan tiket, yang merupakan dokumen berbentuk cetak, melalui proses elektronik, atau bentuk lainnya yang merupakan salah satu alat bukti adanya perjanjian angkutan udara antara penumpang dan pengangkut serta hak penumpang untuk menggunakan pesawat udara atau diangkut dengan pesawat udara. Belum jelas apakah penumpang penduduk sipil yang berada di pesawat Hercules C-130 memiliki tiket atau tidak.

Meskipun demikian, belum ada peraturan perundang-undang yang secara khusus mengatur tentang tanggungjawab pengangkut penggunaan pesawat udara militer. Hal tersebut mengakibatkan perlindungan hukum dan tanggungjawab bagi penumpang masih tidak jelas statusnya.

Penutup
Hercules sebagai pesawat udara militer merupakan pesawat udara Negara yang penggunaannya mempunyai peraturan yang khusus dan dikomandoi oleh pemangku jabatan di bidang militer. Segala bentuk penggunaan pesawat udara militer haruslah mendapatkan ijin dengan mempunyai maksud dan tujuan yang jelas. Dengan demikian Hercules (pesawat udara militer) jelas tidak dapat digunakan untuk alat transportasi penduduk sipil karena pesawat udara militer bukan merupakan pesawat udara niaga dan sesuai dengan peraturan dan konvensi internasional yang telah ada, itu artinya Hercules tidak boleh dikomersialkan.

Peristiwa jatuhnya Pesawat Hercules C-130 nomor lambung A1310 yang persis berjarak dua kilometer dari lokasi jatuhnya pesawat Mandala yang terjadi tahun 2005 lalu di Kota Medan ini, sekaligus memberi pelajaran kepada masyarakat Indonesia khususnya Pemerintah. Perlunya pengaturan secara tegas tentang penggunaan pesawat udara Negara yang termasuk seluruh jenis pesawat yang dikategorikan ke dalam pesawat udara Negara. Perlu juga dibuatkannya peraturan yang secara khusus mengatur tanggung jawab dan perlindungan hukum pengangkut dalam angkutan udara militer. Hal ini bermanfaat agar diketahui lebih jelas penggunaan pesawat udara militer dan masyarat mengerti bahwa pesawat udara militer bukanlah alat transportasi penduduk sipil atau bukan pesawat komersil.

Masyarakat juga diharapkan lebih cerdas memilih alat transportasi sipil yang layak serta memiliki pengaturan hak dan kewajiban secara jelas. Semoga ke depan, peristiwa yang menimbulkan banyak korban jiwa ini adalah peristiwa terakhir dan tidak terulang di hari kemudian. Turut berduka yang sedalam-dalamnya bagi para korban kecelakaan pesawat Hercules C-130.


*Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Analisa pada Sabtu, 4 Juli 2015  >>>  http://analisadaily.com/index.php/opini/news/hercules-tidak-boleh-dikomersialkan/148778/2015/07/04


Tidak ada komentar: