Masyarakat Kota Medan dihebohkan dengan peristiwa jatuhnya
Pesawat Hercules milik TNI-AU di Jalan Jamin Ginting, Medan. Seperti
yang diberitakan Harian Analisa (Rabu, 1 Juli 2015) pada halaman 1,
bahwa pesawat Hercules C-130 milik TNI AU jatuh di kawasan rumah
penduduk, yang menewaskan 101 penumpang berikut 12 awak pesawat. Selain
itu, kecelakaan pesawat yang terjadi tepat sehari sebelum Hari Jadi Kota
Medan yang jatuh pada 1 Juli ini, juga mengakibatkan warga sekitar dan
seorang balita menjadi korban.
Hal yang tak kalah menarik di sini adalah pengakuan kerabat mendiang
Ester Yosephine Sihombing dan Yunita Sihombing, dikatakannya kedua
korban tersebut membayar tiket seharga Rp.800 ribu per orang. Dalam
kesempatan tersebut, Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marskal Agus
Supriatna berjanji jika ada bukti dikomersialkan, pihaknya akan memecat
oknum yang terlibat.
Sebelumnya, peristiwa serupa pernah terjadi di tahun 2009 silam.
Pesawat udara milik Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI-AU)
yaitu pesawat Hercules C-103 yang terbang dengan jadwal rutin untuk
pengiriman logistik dari pemberangkatan Lanud Halim Perdanakusuma
Jakarta dengan tujuan akhir Biak. Dalam perjalanannya yang ternyata juga
mengangkut penumpang penduduk sipil, pesawat Hercules tersebut jatuh
pada saat akan mendarat di Lanud Iswahyudi Madiun.
Hercules Sebagai Alat Transportasi Penduduk Sipil
Hercules atau pesawat udara militer termasuk dalam pesawat udara
angkut militer yang dikategorikan sebagai Military Transport Aircraft
dalam dunia Internasional. Artinya, bahwa pesawat angkut militer biasa
digunakan untuk transportasi pasukan dan peralatan perang, pengangkutan
dan pengiriman kargo, juga termasuk dalam kategori pesawat angkut
militer sebagai tanker udara yang berfungsi untuk pengisian bahan bakar
sementara pesawat lainnya dalam penerbangan.
Berdasarkan Pasal 30 Konvensi Paris 1919, bahwa pesawat udara terdiri
atas pesawat udara militer, pesawat udara yang sepenuhnya digunakan
dinas pemerintahan seperti bea cukai, polisi, dan pesawat udara lainnya.
Pesawat-pesawat udara selain pesawat udara militer, dinas pemerintahan
seperti bea cukai dan polisi harus diperlakukan sebagai pesawat udara
sipil (private aircraft) dan pesawat udara tersebut berlaku ketentuan
yang terdapat dalam Konvensi Paris 1919. Sementara itu, Pasal 31
Konvensi Paris 1919 berbunyi “every aircraft commanded by a person in
military service detailed for the purposed shall be deemed to be a
military aircraft”, yang bermaksud bahwa setiap pesawat yang
diperintahkan oleh seseorang yang bekerja dalam dinas militer dengan
tujuan yang khusus dianggap sebagai pesawat udara militer.
Pasal 68 Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 berisikan “Dalam keadaan
tertentu pesawat udara Negara dapat dipergunakan untuk keperluan
angkutan udara sipil dan sebaliknya.” Keadaan tertentu yang dimaksudkan
adalah apabila Pemerintah memerlukan transportasi untuk angkutan udara
sedangkan yang tersedia hanya pesawat udara Negara, Pemerintah dapat
menggunakan pesawat udara Negara. Begitu juga halnya Pemerintah dapat
menggunakan pesawat udara Negara menjadi pesawat udara sipil sesuai
dengan persyaratan pesawat udara sipil, begitu juga sebaliknya apabila
pemerintah memerlukan pesawat udara untuk kegiatan Negara sedangkan yang
tersedia hanya pesawat udara sipil, maka pesawat udara sipil dapat
diubah menjadi pesawat udara Negara sesuai dengan persyaratan pesawat
udara Negara. Penggunaan pesawat udara militer harus mendapatkan
persetujuan dari Menteri Perhubungan Indonesia dan Panglima Komando
Operasi (Koops I dan Koops II)
Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Militer
Indonesia terdapat beberapa peraturan perUndang-Undangan yang
mengatur mengenai tanggungjawab pengangkut atau penyelenggara suatu
penerbangan. Yaitu, UU No. 1 tahun 2009, Peraturan Pemerintah No. 40
tahun 1995 dan Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 tahun 2011 Tentang
Tanggungjawab Pengangkut yang secara khusus mengatur tanggungjawab
pengangkut atas penyelenggara suatu penerbangan.
Dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 tahun 2011 ini
berisikan peraturan dimana setiap pengangkut yang mengoperasikan pesawat
udara wajib untuk bertanggungjawab atas timbulnya kerugian yang
diderita oleh penumpang. Namun dalam ketentuan ini akan batal dengan
sendirinya apabila penumpang yang mengalami kerugian tidak dapat
menunjukkan tiket, yang merupakan dokumen berbentuk cetak, melalui
proses elektronik, atau bentuk lainnya yang merupakan salah satu alat
bukti adanya perjanjian angkutan udara antara penumpang dan pengangkut
serta hak penumpang untuk menggunakan pesawat udara atau diangkut dengan
pesawat udara. Belum jelas apakah penumpang penduduk sipil yang berada
di pesawat Hercules C-130 memiliki tiket atau tidak.
Meskipun demikian, belum ada peraturan perundang-undang yang secara
khusus mengatur tentang tanggungjawab pengangkut penggunaan pesawat
udara militer. Hal tersebut mengakibatkan perlindungan hukum dan
tanggungjawab bagi penumpang masih tidak jelas statusnya.
Penutup
Hercules sebagai pesawat udara militer merupakan pesawat udara Negara
yang penggunaannya mempunyai peraturan yang khusus dan dikomandoi oleh
pemangku jabatan di bidang militer. Segala bentuk penggunaan pesawat
udara militer haruslah mendapatkan ijin dengan mempunyai maksud dan
tujuan yang jelas. Dengan demikian Hercules (pesawat udara militer)
jelas tidak dapat digunakan untuk alat transportasi penduduk sipil
karena pesawat udara militer bukan merupakan pesawat udara niaga dan
sesuai dengan peraturan dan konvensi internasional yang telah ada, itu
artinya Hercules tidak boleh dikomersialkan.
Peristiwa jatuhnya Pesawat Hercules C-130 nomor lambung A1310 yang
persis berjarak dua kilometer dari lokasi jatuhnya pesawat Mandala yang
terjadi tahun 2005 lalu di Kota Medan ini, sekaligus memberi pelajaran
kepada masyarakat Indonesia khususnya Pemerintah. Perlunya pengaturan
secara tegas tentang penggunaan pesawat udara Negara yang termasuk
seluruh jenis pesawat yang dikategorikan ke dalam pesawat udara Negara.
Perlu juga dibuatkannya peraturan yang secara khusus mengatur tanggung
jawab dan perlindungan hukum pengangkut dalam angkutan udara militer.
Hal ini bermanfaat agar diketahui lebih jelas penggunaan pesawat udara
militer dan masyarat mengerti bahwa pesawat udara militer bukanlah alat
transportasi penduduk sipil atau bukan pesawat komersil.
Masyarakat juga diharapkan lebih cerdas memilih alat transportasi
sipil yang layak serta memiliki pengaturan hak dan kewajiban secara
jelas. Semoga ke depan, peristiwa yang menimbulkan banyak korban jiwa
ini adalah peristiwa terakhir dan tidak terulang di hari kemudian. Turut
berduka yang sedalam-dalamnya bagi para korban kecelakaan pesawat
Hercules C-130.
*Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Analisa pada Sabtu, 4 Juli 2015 >>> http://analisadaily.com/index.php/opini/news/hercules-tidak-boleh-dikomersialkan/148778/2015/07/04
Tidak ada komentar:
Posting Komentar