“Seksualitas
adalah hal yang sangat ruwet. Ia bisa datang membawa kebahagiaan, sebaliknya
bisa pula membawa kesedihan.”
Kalimat
tersebut disampaikan Hatib Abdul Kadir dalam bukunya yang berjudul Tangan Kuasa
dalam Kelamin, Telaah Homoseks, Pekerja Seks, dan Seks Bebas di Indonesia
(Hatib Abdul Kadir, 2008). Lebih lanjut, alumni Antropologi Budaya
Universitas Gajah Mada Yogyakarta ini menuliskan keruwetan seksualitas ini terwujud
bukan hanya karena campur tangan kapitalisme, Negara, dan agama, melainkan juga
karena seksualitas berakar pada naluri alamiah.
Buku yang ditulis Hatib menjadi salah satu bukti
bahwa orang-orang yang mempunyai orientasi dan pilihan seks yang berbeda memunculkan
perdebatan dan polemik di Indonesia. Perdebatan mengenai kaum minoritas Lesbian,
Gay, Biseks dan Transgender/Transeksual (LGBT) masih terus terjadi di tengah
masyarakat juga tak terlepas di kalangan mahasiswa.
Mahasiswa dan
Kaum Minoritas LGBT
Beberapa waktu
lalu, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan pemberitaan media terkait polemik
sekelompok mahasiswa dan alumni Universitas Indonesia (UI) yang menamakan diri Support Group and Resource Center On
Sexuality Studies (SGRC). SGRC dituduh sebagai komunitas kaum minoritas LGBT
di kampus ternama di Indonesia tersebut. Polemik ini pun sempat mengundang
reaksi Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Muhammad Nasir, terkait
aktivitas mahasiswa lesbian, gay, biseksual, dan transgender di kampus yang
menjadi sorotan publik terutama di media sosial.
Polemik ini
pun mengundang reaksi tegas dari pihak kampus. Humas UI mengeluarkan sikap
keberatan, karena SGRC menggunakan logo dan nama Universitas Indonesia. Bahkan,
Rektor UI Muhammad Anis menegaskan SGRC
harus mengubah nama dan beraktif di luar universitas agar tidak membuat
bingung masyarakat. (sindonews.com 22 Januari 2016).
SGRC melalui
ketuanya Prameswari Noor telah mengklarifikasi bahwa SGRC bukan merupakan
bagian dari komunitas kaum minoritas LGBT atau biro jodoh LGBT. Organisasi jasa
konseling yang anggotanya terdiri dari mahasiswa, alumni, serta dosen dari
Universitas Indonesia menyatakan SGRC merupakan kelompok kajian yang mebahas
isu gender dan seksualitas secara luas. Feminisme, hak tubuh, patriarki, gerakan
pria, buruh dan wanita, kesehatan reproduksi, serta isu-isu lain yang terkait
dengan gender dan seksualitas merupakan fokus kajian organisasi yang berusaha
menjadi wadah konsultasi ini. (nasional.tempo.co 23 Januari 2016).
LGBT of USU
dan Sikap Tegas Rektor USU
Lain halnya dengan SGRC di kampus Universitas
Indonesia, kehadiran LGBT of USU di fanpage
media sosial Facebook menjadi ramai di perbincangkan masyarakat Kota Medan. Sejumlah
media lokal pun memberitakan terkait keberadaan LGBT of USU yang dikhawatirkan
merupakan komunitas kaum minoritas LGBT yang berada di lingkungan kampus.
Penulis melihat jumlah akun pribadi yang like fans page LGBT of USU ini pada Kamis 11 Februari
2016 berjumlah 81 like. Beberapa
postingan serta sejumlah tanggapan komentar yang dilakukan admin fanpage ini bertolak belakang dengan nilai-nilai masyarakat.
Salah satunya, LGBT of USU menyebut pengkritik monyet (Koran Sindo Medan, 12
Februari 2016)
Rektor Universitas Sumatera Utara Profesor Runtung
Sitepu langsung mengambil sikap tegas dengan rencana membubarkan apabila ada
organisasi LGBT di lingkungan kampus yang berada di Kota Medan ini. Rektor
Universitas Sumatera Utara yang baru beberapa waktu lalu dilantik ini bahkan mengecam
keras LGBT of USU menggunakan logo kampus USU dan akan memecat mahasiswa yang kedapatan
merupakan bagian dari organisasi LGBT of USU. (tribunnews.com 11 Februari 2016).
Keluarga dan
Pergaulan
Penulis meminjam kalimat yang diutarakan Foucault
(2008), bahwa disiplin terhadap tubuh tidak terlepas dari permasalahan
kependudukan yang akan mempengaruhi masalah ekonomi dan politik. Adapun dampak
buruk dari masalah kependudukan dimaksud tersebut adalah runtuhnya sistem
politik-ekonomi suatu bangsa. Sebagai solusi, menurut Foucault institusi
kekuasaan harus mengeluarkan strategi kekuasaan yang baru untuk menyelesaikan
masalah tersebut. Menurutnya, relasi antara kekuasaan dan seksualitas terlihat
jelas karena permasalahan kependudukan terkandung masalah seks.
Perdebatan mengenai LGBT di tengah masyarakat masih
terus terus terjadi. Hal ini datang baik bagi kelompok yang pro maupun yang
kontra. Dikhawatirkan perdebatan ini justru menimbulkan diskriminasi yang tidak
dibenarkan dalam suatu Negara atau bahkan menjadi kecemasan yang begitu
mendalam bagi masyarakat. Karena hak dan keamanan masyarakat dilindungi dalam
hukum. Dalam Undang-Undang Hak Azasi Manusia, Pasal 2 Undang-Undang No.39 tahun
1999, terkandung bahwa Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi
hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati
melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi,
dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan,
kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.
Mahasiswa mempunyai peran penting guna meredam perdebatan
yang tak kunjung surut di masyarakat. Melalui kajian serta wacana yang
bermanfaat dan terbuka diharapkan mampu meredam polemik di tengah masyarakat,
bukan justru menambah gejolak.
Prof. Dadang Hawari dalam bukunya Pendekatan Psikoreligi
pada Homoseksual (2009), mengatakan bahwa pendidikan keluarga di rumah dan
pergaulan sosial dapat mempengaruhi proses perkembangan psikoseksual seseorang.
Pendidikan keluarga dan pergaulan seseorang menjadi faktor penting agar
seseorang terhindar dari jiwa yang sakit, emosi yang tidak stabil dan nalar
yang sakit.
Maka dari itu, kampus juga merupakan lingkungan
bagi pergaulan mahasiswa. Sehingga, faktor pergaulan mahasiswa adalah hal
penting yang perlu diperhatikan. Langkah Rektor Universitas Indonesia dan
Rektor Universitas Sumatera Utara tersebut di atas, tentu dilandasi maksud pergaulan
mahasiswa yang lebih positif dan bermanfaat serta berwawasan akademis. Pihak
kampus diharapkan lebih pro aktif mewujudkan pergaulan mahasiswa yang lebih
positif dan produktif. Mahasiswa tidak diharapkan berada di jalur pergaulan yang
dapat merugikan dirinya dan masyarakat. Dengan demikian keruwetan seksualitas
dapat diminimalisir dan runtuhnya sistem politik-ekonomi suatu bangsa dapat
dihindari. Setidaknya, polemik di masyarakat terkait hal ini
diharapkan dapat segera diredam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar