Arsip Blog

Minggu, 21 Februari 2016

Mahasiswa dan Kaum Minoritas LGBT

“Seksualitas adalah hal yang sangat ruwet. Ia bisa datang membawa kebahagiaan, sebaliknya bisa pula membawa kesedihan.”

Kalimat tersebut disampaikan Hatib Abdul Kadir dalam bukunya yang berjudul Tangan Kuasa dalam Kelamin, Telaah Homoseks, Pekerja Seks, dan Seks Bebas di Indonesia (Hatib Abdul Kadir, 2008). Lebih lanjut, alumni Antropologi Budaya Universitas Gajah Mada Yogyakarta ini menuliskan keruwetan seksualitas ini terwujud bukan hanya karena campur tangan kapitalisme, Negara, dan agama, melainkan juga karena seksualitas berakar pada naluri alamiah.
Buku yang ditulis Hatib menjadi salah satu bukti bahwa orang-orang yang mempunyai orientasi dan pilihan seks yang berbeda memunculkan perdebatan dan polemik di Indonesia. Perdebatan mengenai kaum minoritas Lesbian, Gay, Biseks dan Transgender/Transeksual (LGBT) masih terus terjadi di tengah masyarakat juga tak terlepas di kalangan mahasiswa.

Mahasiswa dan Kaum Minoritas LGBT
Beberapa waktu lalu, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan pemberitaan media terkait polemik sekelompok mahasiswa dan alumni Universitas Indonesia (UI) yang menamakan diri Support Group and Resource Center On Sexuality Studies (SGRC). SGRC dituduh sebagai komunitas kaum minoritas LGBT di kampus ternama di Indonesia tersebut. Polemik ini pun sempat mengundang reaksi Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Muhammad Nasir, terkait aktivitas mahasiswa lesbian, gay, biseksual, dan transgender di kampus yang menjadi sorotan publik terutama di media sosial.
Polemik ini pun mengundang reaksi tegas dari pihak kampus. Humas UI mengeluarkan sikap keberatan, karena SGRC menggunakan logo dan nama Universitas Indonesia. Bahkan, Rektor UI Muhammad Anis menegaskan SGRC  harus mengubah nama dan beraktif di luar universitas agar tidak membuat bingung masyarakat. (sindonews.com 22 Januari 2016).
SGRC melalui ketuanya Prameswari Noor telah mengklarifikasi bahwa SGRC bukan merupakan bagian dari komunitas kaum minoritas LGBT atau biro jodoh LGBT. Organisasi jasa konseling yang anggotanya terdiri dari mahasiswa, alumni, serta dosen dari Universitas Indonesia menyatakan SGRC merupakan kelompok kajian yang mebahas isu gender dan seksualitas secara luas. Feminisme, hak tubuh, patriarki, gerakan pria, buruh dan wanita, kesehatan reproduksi, serta isu-isu lain yang terkait dengan gender dan seksualitas merupakan fokus kajian organisasi yang berusaha menjadi wadah konsultasi ini. (nasional.tempo.co 23 Januari 2016).

LGBT of USU dan Sikap Tegas Rektor USU
Lain halnya dengan SGRC di kampus Universitas Indonesia, kehadiran LGBT of USU di fanpage media sosial Facebook menjadi ramai di perbincangkan masyarakat Kota Medan. Sejumlah media lokal pun memberitakan terkait keberadaan LGBT of USU yang dikhawatirkan merupakan komunitas kaum minoritas LGBT yang berada di lingkungan kampus.
Penulis melihat jumlah akun pribadi yang like fans page LGBT of USU ini pada Kamis 11 Februari 2016 berjumlah 81 like. Beberapa postingan serta sejumlah tanggapan komentar yang dilakukan admin fanpage ini bertolak belakang dengan nilai-nilai masyarakat. Salah satunya, LGBT of USU menyebut pengkritik monyet (Koran Sindo Medan, 12 Februari 2016)
Rektor Universitas Sumatera Utara Profesor Runtung Sitepu langsung mengambil sikap tegas dengan rencana membubarkan apabila ada organisasi LGBT di lingkungan kampus yang berada di Kota Medan ini. Rektor Universitas Sumatera Utara yang baru beberapa waktu lalu dilantik ini bahkan mengecam keras LGBT of USU menggunakan logo kampus USU dan  akan memecat mahasiswa yang kedapatan merupakan bagian dari organisasi LGBT of USU. (tribunnews.com 11 Februari 2016).

Keluarga dan Pergaulan
Penulis meminjam kalimat yang diutarakan Foucault (2008), bahwa disiplin terhadap tubuh tidak terlepas dari permasalahan kependudukan yang akan mempengaruhi masalah ekonomi dan politik. Adapun dampak buruk dari masalah kependudukan dimaksud tersebut adalah runtuhnya sistem politik-ekonomi suatu bangsa. Sebagai solusi, menurut Foucault institusi kekuasaan harus mengeluarkan strategi kekuasaan yang baru untuk menyelesaikan masalah tersebut. Menurutnya, relasi antara kekuasaan dan seksualitas terlihat jelas karena permasalahan kependudukan terkandung masalah seks.
Perdebatan mengenai LGBT di tengah masyarakat masih terus terus terjadi. Hal ini datang baik bagi kelompok yang pro maupun yang kontra. Dikhawatirkan perdebatan ini justru menimbulkan diskriminasi yang tidak dibenarkan dalam suatu Negara atau bahkan menjadi kecemasan yang begitu mendalam bagi masyarakat. Karena hak dan keamanan masyarakat dilindungi dalam hukum. Dalam Undang-Undang Hak Azasi Manusia, Pasal 2 Undang-Undang No.39 tahun 1999, terkandung bahwa Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.
Mahasiswa mempunyai peran penting guna meredam perdebatan yang tak kunjung surut di masyarakat. Melalui kajian serta wacana yang bermanfaat dan terbuka diharapkan mampu meredam polemik di tengah masyarakat, bukan justru menambah gejolak.
Prof. Dadang Hawari dalam bukunya Pendekatan Psikoreligi pada Homoseksual (2009), mengatakan bahwa pendidikan keluarga di rumah dan pergaulan sosial dapat mempengaruhi proses perkembangan psikoseksual seseorang. Pendidikan keluarga dan pergaulan seseorang menjadi faktor penting agar seseorang terhindar dari jiwa yang sakit, emosi yang tidak stabil dan nalar yang sakit.
Maka dari itu, kampus juga merupakan lingkungan bagi pergaulan mahasiswa. Sehingga, faktor pergaulan mahasiswa adalah hal penting yang perlu diperhatikan. Langkah Rektor Universitas Indonesia dan Rektor Universitas Sumatera Utara tersebut di atas, tentu dilandasi maksud pergaulan mahasiswa yang lebih positif dan bermanfaat serta berwawasan akademis. Pihak kampus diharapkan lebih pro aktif mewujudkan pergaulan mahasiswa yang lebih positif dan produktif. Mahasiswa tidak diharapkan berada di jalur pergaulan yang dapat merugikan dirinya dan masyarakat. Dengan demikian keruwetan seksualitas dapat diminimalisir dan runtuhnya sistem politik-ekonomi suatu bangsa dapat dihindari. Setidaknya, polemik di masyarakat terkait hal ini diharapkan dapat segera diredam.

Tidak ada komentar: