Oleh:
Fauzi Abdullah
Pasal
5 Kode Etik Jurnalistik mengatur bahwa wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan
menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas
anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Banyak
media telah mengenyampingkan pasal tersebut dalam memberitakan siswi SMA yang
adu mulut dengan polisi saat hendak ditilang di Medan. Seorang wartawan dalam menghasilkan
karya tentu lebih bernilai positif bila menjunjung tinggi etika profesi
kewartawanannya. Sebagaimana diketahui, pemberitaan siswi SMA yang sempat mengaku
anak seorang jenderal polisi, dilakukan oleh banyak media dengan menyebutkan nama
dengan jelas. Hal ini tentu tidak sesuai ketentuan Pasal 5, karena data dan
informasi menyangkut siswi SMA tersebut dapat memudahkan orang lain untuk
melacak.
Bak
tangki bahan bakar tersulut api, berita siswi yang sedang bereuforia usai
pelaksanaan Ujian Nasional ini, langsung meledak dan marak terutama di media sosial
internet. Tak hanya berisikan nama dengan jelas, sejumlah media pun tampak
sengaja memunculkan video yang memperlihatkan dengan jelas identitas wajah
siswi dan teman-temannya, tanpa sedikit pun diburamkan. Tidak hanya itu, sejumlah
akun dan status di media sosial milik siswi tersebut juga dilacak dan
disebarkan secara luas oleh media, terutama media elektronik (internet). Kemudian
menjadi ramai diperbincangkan para netizen dan foto-foto siswi tersebut pun
dengan jelas tersebar secara luas di jejaring sosial. Fakta mengejutkan selanjutnya, adalah ayah
kandung dari siswi tersebut jatuh sakit setelah mengetahui pemberitaan negatif tentang
anaknya, dan meninggal dunia karena penyakit jantung.
Banyak
wartawan sebagai wakil dari media berpikiran bahwa penyebutan nama siswi
tersebut demi kepentingan publik, atau bahkan nama tersebut sudah diketahui
masyarakat umum jadi tidak perlu lagi ditutupi atau diinisialkan. Atau bahkan,
karena suatu media sudah terlanjur menyebutkan nama siswi secara jelas, untuk
apa lagi media lainnya menginisialkan identitas. Tentu hal ini berdampak kurang
baik bagi pertumbuhan media secara sehat di Indonesia.
Tenggelam dalam Arus Kecepatan
Penulis
meminjam kalimat dari Marshall Berman yang menilai bahwa modernitas tidak hanya
ditandai oleh kebaruan, namun juga kecepatan. Era modernitas di kehidupan sosial
selalu ramai dipadati hal-hal yang serba baru dan cepat. Dalam kapitalisme
global, cepat adalah sebuah kemajuan dan diam berarti terhempas oleh laju
percepatan. Tak jarang kesuksesan dalam sebuah pencapaian dianggap berdasarkan kecepatan
dalam satuan waktu tertentu. Kehidupan sosial tak jarang tenggelam dalam hal bertempo
cepat, dan tak jarang pula justru mempersempit ruang bagi kehidupan yang lebih
bermakna dan berdampak luas.
Fenomena
arus kecepatan ini sangat mudah dijumpai di kehidupan era seperti saat ini. Misalnya,
arus bisnis termasuk bisnis persaingan media di Indonesia. Kecepatan sebuah
penyajian media digadang-gadangkan sebagai kebutuhan bagi pembaca, media yang
lambat menyajikan berita akan ditinggalkan oleh pembaca. Hal ini lantas membuat
perusahaan-perusahaan media berlomba-lomba menyajikan berita secara cepat. Salah
satu caranya dengan turut menyajikan melalui media internet. Suasana seperti
ini yang berefek pada wartawan harus bekerja secara ekstra dan cepat. Bagai
kumpulan pasukan perang yang dikomandoi, akun jejaring sosial milik para
wartawan pun menyebar-luaskan laman berita milik kantornya sendiri. Agar penyajian
berita masih ‘hangat’ berada dihadapan pembaca, serta memancing viewer sebanyak-banyaknya. Dan tentunya
berdampak menguntungkan bagi peningkatan rating
perusahaan media.
Dalam
The Aesthetic of Disappearance,
Virilio menyebut kehidupan seperti tersebut di atas sebagai epilepsi dan
piknolepsi. Epilepsi yang diartikan kejutan, dan piknolepsi yang bermakna
sering. Kehidupan yang didasarkan pada kecepatan tinggi hanya bersifat
temporalitas dan sementara. Jelas saja, sejumlah fenomena yang ditumpahkan oleh
media tak sedikit pula yang mudah sunyi dan dilupakan. Era internet turut
menjadikan media memasuki era kecepatan informasi yang semakin tinggi, namun sayang
dangkal makna. Media mendorong pembaca mengetahui beragam informasi dengan
kecepatan berpikir, namun tak pernah mendorong pembaca menajamkan hati.
Bullying
Sudah
tidak dapat ditahan lagi, siswi SMA tersebut menjadi korban bullying di media sosial. Sejumlah komentar
bahkan gambar dan foto bernada sindiran menyebar begitu luasnya. Sejumlah
kerabat dan keluarga dengan cepat mengetahui hal tersebut lewat jaringan
internet, baik dari fasilitas di smartphone
maupun pemberitaan di media massa. Masa depan siswi tersebut pantas menjadi
perhatian kita bersama, mengingat baru akan lulus dari bangku SMA. Namun, masa
depan wanita yang juga terpaksa harus rela kehilangan orangtua kandungnya, kini
menguap entah kemana.
Secara
umum, bullying merupakan kekerasan
atau intimidasi yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok yang bertujuan
menyakiti orang lain secara fisik maupun psikologis. Penganiayaan termasuk
pemukulan, pemerkosaan dan pelecehan merupakan bully secara fisik. Sedangkan secara psikologis yaitu diskriminasi,
penghinaan, dan sejenisnya. Tiga unsur mendasar perilaku bullying sebagaimana diungkapkan Prof. Dan Olweus, pertama bersifat
menyerang dan negatif. Kedua, dilakukan secara berulang kali. Dan ketiga,
adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pihak yang berlawanan. Pemberitaan
yang dilakukan oleh sejumlah media dalam hal ini, memenuhi unsur perilaku bullying tersebut. Pemberitaan dilakukan
secara berulang-ulang, terutama yang diberitakan oleh banyak media berbasis
internet. Tidak sedikit pemberitaan yang menyebar luas di masyarakat, bersifat
negatif dan semata-mata menyudutkan tanpa ada keseimbangan dari pelaku, dalam
hal ini siswi SMA yang mengaku anak jenderal saat hendak ditilang Polisi.
Sopan Kepada Siapapun
Baik
secara langsung maupun tidak langsung, pemberitaan media terkait adu mulut
siswi SMA dengan polisi beberapa waktu lalu kembali menyentuh hati kecil kita.
Penting berprilaku sopan kepada siapapun. Terlebih orang terpelajar sudah
sepantasnyalah mengenal susila, beradab, sopan dan baik budi bahasanya yang
melekat dalam adat istiadat masyarakat Indonesia. Terkait bullying, tidak pernah ada orang yang mau dibully dan sudah sepantasnya tak lagi marak di tengah masyarakat.
Karena komentar serta gambar bernada bully,
apabila sudah diunggah di media internet susah untuk menghapus atau
menghilangkannya. Media juga diharapkan tidak menggiring opini apalagi
melakukan provokasi yang memancing perilaku bully
oleh masyarakat luas.
Disamping itu, pasal 9 kode
etik jurnalistik menyebutkan wartawan Indonesia menghormati hak narasumber
tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik. Kepentingan publik
dalam Pasal 9 ini perlu diberi penafsiran secara lengkap dan tegas. Agar
diketahui tolok ukur suatu peristiwa dikatakan kepentingan publik. Apakah semua
peristiwa yang didapat wartawan dalam menjalankan tugas peliputannya
dikategorikan kepentingan publik? Hal ini diperlukan penjelasan lebih jelas
agar tidak berefek negatif berkepanjangan. Penting pula diikutsertakan penggiat
media, kalangan pers, akademisi, serta pihak-pihak yang memiliki keahlian dalam
penafsiran kepentingan publik dalam setiap pemberitaan oleh media. Media berperan
penting dalam pilar demokrasi. Idealisme dan profesionalisme wartawan sangat
dibutuhkan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Etika dalam pelaksanaan tugas
profesi bisa saja terjadi pasang surut, termasuk kode etik jurnalistik bagi
wartawan. Namun dengan komitmen yang kuat dan demi menjaga kepentingan bersama,
etika tentu dapat diterapkan sebagaimana mestinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar