Arsip Blog

Selasa, 12 April 2016

Bullying dan Media


Oleh: Fauzi Abdullah
Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik mengatur bahwa wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Banyak media telah mengenyampingkan pasal tersebut dalam memberitakan siswi SMA yang adu mulut dengan polisi saat hendak ditilang di Medan. Seorang wartawan dalam menghasilkan karya tentu lebih bernilai positif bila menjunjung tinggi etika profesi kewartawanannya. Sebagaimana diketahui, pemberitaan siswi SMA yang sempat mengaku anak seorang jenderal polisi, dilakukan oleh banyak media dengan menyebutkan nama dengan jelas. Hal ini tentu tidak sesuai ketentuan Pasal 5, karena data dan informasi menyangkut siswi SMA tersebut dapat memudahkan orang lain untuk melacak.

Bak tangki bahan bakar tersulut api, berita siswi yang sedang bereuforia usai pelaksanaan Ujian Nasional ini, langsung meledak dan marak terutama di media sosial internet. Tak hanya berisikan nama dengan jelas, sejumlah media pun tampak sengaja memunculkan video yang memperlihatkan dengan jelas identitas wajah siswi dan teman-temannya, tanpa sedikit pun diburamkan. Tidak hanya itu, sejumlah akun dan status di media sosial milik siswi tersebut juga dilacak dan disebarkan secara luas oleh media, terutama media elektronik (internet). Kemudian menjadi ramai diperbincangkan para netizen dan foto-foto siswi tersebut pun dengan jelas tersebar secara luas di jejaring sosial. Fakta mengejutkan selanjutnya, adalah ayah kandung dari siswi tersebut jatuh sakit setelah mengetahui pemberitaan negatif tentang anaknya, dan meninggal dunia karena penyakit jantung.
Banyak wartawan sebagai wakil dari media berpikiran bahwa penyebutan nama siswi tersebut demi kepentingan publik, atau bahkan nama tersebut sudah diketahui masyarakat umum jadi tidak perlu lagi ditutupi atau diinisialkan. Atau bahkan, karena suatu media sudah terlanjur menyebutkan nama siswi secara jelas, untuk apa lagi media lainnya menginisialkan identitas. Tentu hal ini berdampak kurang baik bagi pertumbuhan media secara sehat di Indonesia.

Tenggelam dalam Arus Kecepatan
Penulis meminjam kalimat dari Marshall Berman yang menilai bahwa modernitas tidak hanya ditandai oleh kebaruan, namun juga kecepatan. Era modernitas di kehidupan sosial selalu ramai dipadati hal-hal yang serba baru dan cepat. Dalam kapitalisme global, cepat adalah sebuah kemajuan dan diam berarti terhempas oleh laju percepatan. Tak jarang kesuksesan dalam sebuah pencapaian dianggap berdasarkan kecepatan dalam satuan waktu tertentu. Kehidupan sosial tak jarang tenggelam dalam hal bertempo cepat, dan tak jarang pula justru mempersempit ruang bagi kehidupan yang lebih bermakna dan berdampak luas.
Fenomena arus kecepatan ini sangat mudah dijumpai di kehidupan era seperti saat ini. Misalnya, arus bisnis termasuk bisnis persaingan media di Indonesia. Kecepatan sebuah penyajian media digadang-gadangkan sebagai kebutuhan bagi pembaca, media yang lambat menyajikan berita akan ditinggalkan oleh pembaca. Hal ini lantas membuat perusahaan-perusahaan media berlomba-lomba menyajikan berita secara cepat. Salah satu caranya dengan turut menyajikan melalui media internet. Suasana seperti ini yang berefek pada wartawan harus bekerja secara ekstra dan cepat. Bagai kumpulan pasukan perang yang dikomandoi, akun jejaring sosial milik para wartawan pun menyebar-luaskan laman berita milik kantornya sendiri. Agar penyajian berita masih ‘hangat’ berada dihadapan pembaca, serta memancing viewer sebanyak-banyaknya. Dan tentunya berdampak menguntungkan bagi peningkatan rating perusahaan media.
Dalam The Aesthetic of Disappearance, Virilio menyebut kehidupan seperti tersebut di atas sebagai epilepsi dan piknolepsi. Epilepsi yang diartikan kejutan, dan piknolepsi yang bermakna sering. Kehidupan yang didasarkan pada kecepatan tinggi hanya bersifat temporalitas dan sementara. Jelas saja, sejumlah fenomena yang ditumpahkan oleh media tak sedikit pula yang mudah sunyi dan dilupakan. Era internet turut menjadikan media memasuki era kecepatan informasi yang semakin tinggi, namun sayang dangkal makna. Media mendorong pembaca mengetahui beragam informasi dengan kecepatan berpikir, namun tak pernah mendorong pembaca menajamkan hati.

Bullying
Sudah tidak dapat ditahan lagi, siswi SMA tersebut menjadi korban bullying di media sosial. Sejumlah komentar bahkan gambar dan foto bernada sindiran menyebar begitu luasnya. Sejumlah kerabat dan keluarga dengan cepat mengetahui hal tersebut lewat jaringan internet, baik dari fasilitas di smartphone maupun pemberitaan di media massa. Masa depan siswi tersebut pantas menjadi perhatian kita bersama, mengingat baru akan lulus dari bangku SMA. Namun, masa depan wanita yang juga terpaksa harus rela kehilangan orangtua kandungnya, kini menguap entah kemana.
Secara umum, bullying merupakan kekerasan atau intimidasi yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok yang bertujuan menyakiti orang lain secara fisik maupun psikologis. Penganiayaan termasuk pemukulan, pemerkosaan dan pelecehan merupakan bully secara fisik. Sedangkan secara psikologis yaitu diskriminasi, penghinaan, dan sejenisnya. Tiga unsur mendasar perilaku bullying sebagaimana diungkapkan Prof. Dan Olweus, pertama bersifat menyerang dan negatif. Kedua, dilakukan secara berulang kali. Dan ketiga, adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pihak yang berlawanan. Pemberitaan yang dilakukan oleh sejumlah media dalam hal ini, memenuhi unsur perilaku bullying tersebut. Pemberitaan dilakukan secara berulang-ulang, terutama yang diberitakan oleh banyak media berbasis internet. Tidak sedikit pemberitaan yang menyebar luas di masyarakat, bersifat negatif dan semata-mata menyudutkan tanpa ada keseimbangan dari pelaku, dalam hal ini siswi SMA yang mengaku anak jenderal saat hendak ditilang Polisi.

Sopan Kepada Siapapun
Baik secara langsung maupun tidak langsung, pemberitaan media terkait adu mulut siswi SMA dengan polisi beberapa waktu lalu kembali menyentuh hati kecil kita. Penting berprilaku sopan kepada siapapun. Terlebih orang terpelajar sudah sepantasnyalah mengenal susila, beradab, sopan dan baik budi bahasanya yang melekat dalam adat istiadat masyarakat Indonesia. Terkait bullying, tidak pernah ada orang yang mau dibully dan sudah sepantasnya tak lagi marak di tengah masyarakat. Karena komentar serta gambar bernada bully, apabila sudah diunggah di media internet susah untuk menghapus atau menghilangkannya. Media juga diharapkan tidak menggiring opini apalagi melakukan provokasi yang memancing perilaku bully oleh masyarakat luas. 
Disamping itu, pasal 9 kode etik jurnalistik menyebutkan wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik. Kepentingan publik dalam Pasal 9 ini perlu diberi penafsiran secara lengkap dan tegas. Agar diketahui tolok ukur suatu peristiwa dikatakan kepentingan publik. Apakah semua peristiwa yang didapat wartawan dalam menjalankan tugas peliputannya dikategorikan kepentingan publik? Hal ini diperlukan penjelasan lebih jelas agar tidak berefek negatif berkepanjangan. Penting pula diikutsertakan penggiat media, kalangan pers, akademisi, serta pihak-pihak yang memiliki keahlian dalam penafsiran kepentingan publik dalam setiap pemberitaan oleh media. Media berperan penting dalam pilar demokrasi. Idealisme dan profesionalisme wartawan sangat dibutuhkan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Etika dalam pelaksanaan tugas profesi bisa saja terjadi pasang surut, termasuk kode etik jurnalistik bagi wartawan. Namun dengan komitmen yang kuat dan demi menjaga kepentingan bersama, etika tentu dapat diterapkan sebagaimana mestinya.

Tidak ada komentar: