Arsip Blog

Senin, 06 Desember 2021

AKSI BAKAR DIRI PENGUNGSI LUAR NEGERI

(Terbit di Harian Analisa 7 Desember 2021)

Medan, 7 Desember 2021

KODE keras alarm tanda bahaya penanganan pengungsi luar negeri dan pencari suaka terus menyerang Indonesia. UNHCR (United Nation High Commisioners for Refugees) keberadaannya ada di Indonesia. Kantor Perwakilan UNHCR pun hadir di Kota Medan. Namun, aksi unjuk rasa puluhan pengungsi luar negeri dan pencari suaka di depan Kantor Perwakilan Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) Medan Jalan Imam Bonjol, terlanjur didiamkan. Pembiaran terhadap unjuk rasa berhari-hari lamanya tersebut hingga memicu aksi bakar diri.
Seorang laki-laki pengungsi luar negeri berinisial AS menyiramkan bahan bakar dan menyulutkan api ke tubuhnya sendiri. Aksi bakar diri AS ini dilakukan tepat di depan Kantor UNHCR Jalan Imam Bonjol Medan pada 30 November 2021.
Koordinator aksi unjuk rasa, Juma menjelaskan bahwa aksi tersebut sebagai wujud kekecewaan kepada UNHCR yang dinilai tidak menanggapi tuntutan para pengungsi luar negeri dan pencari suaka untuk segera diberangkatkan ke Negara ketiga sebagai tujuan. Selama 30 hari aksi unjuk rasa dan menginap tak kunjung digubris UNHCR Medan. Unjuk rasa dan aksi bakar diri ini kode keras, alarm tanda bahaya terhadap penanganan pengungsi luar negeri dan pencari suaka di Indonesia.
Posisi Indonesia
Aksi unjuk rasa oleh pengungsi luar negeri dan pencari suaka yang menolak dibubarkan ini meresahkan masyarakat. Terlebih aksi bakar diri yang terlanjur dilakukan tidak bisa dipandang sebagai aksi yang biasa-biasa saja.
Indonesia bukan Negara pihak Konvensi 1951. Fakta tersebut sudah jelas menegaskan bahwa tidak ada hal-hal yang mengikat Indonesia atas apa yang diperjanjikan dalam konvensi terkait pengungsi yang juga dikenal dengan Konvensi Jenewa Tahun 1951 tersebut.
Indonesia juga bukan Negara yang meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol Tahun 1967. Adapun klausul Indonesia sebagai Negara yang mengakui hak suaka politik, hingga menghormati hak asasi manusia yang bisa saja dijadikan alasan untuk membuat Indonesia tidak mengambil sikap. UUD Tahun 1945 telah menjawab itu secara jelas.
UUD Tahun 1945 Pasal 28J menjelaskan bahwa, (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dalam undang-undang dengan maksud semata-mata untuuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Penjelasan yang terkandung dalam Pasal 28J UUD Tahun 1945 jelas menegaskan ada batasan-batasan pemberlakukan hak asasi manusia di Indonesia. Yakni, Undang-Undang, hak asasi manusia orang lain, kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara. Kemudian, moralitas, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum.
Batasan-batasan tersebut dapat menjadi pegangan Indonesia dalam mengambil sikap. Setelah bertahun-tahun melakukan penanganan pengungsi dan pencari suaka hingga menimbulkan keresahan, menanggung dampak sosial yang ditimbulkan. Tak berlebihan bila dilihat dari peristiwa-peristiwa yang terjadi, pengungsi luar negeri dan pencari suaka keberadaannya di Indonesia menggangu ketertiban umum bahkan berpotensi mengancam kedaulatan Negara.
Negara-negara pihak Konvensi 1951, yang semestinya tunduk pada prinsip non-refoulement (Pasal 33 ayat 1 Konvensi Tahun 1951) saja tetap menerapkan prinsip kehati-hatian bahkan melanggar secara jelas. Seperti yang secara terang ditunjukkan Amerika Serikat melalui kebijakan masa Donald Trump, menolak masuknya pengungsi luar negeri dan pencari suaka ke wilayah hukum Amerika Serikat. Begitupun dengan kebijakan pemerintah Australia yang lebih memilih melanggar prinsip non-refoulment demi keamanan dan kedaulatan Negara.
Selective Policy
Orang asing keberadaannya di suatu Negara bukan berarti selalu mendatangkan manfaat. Namun sebaliknya, orang asing tak menutup kemungkinan menimbulkan keresahan, mengganggu ketertiban umum hingga mengancam keamanan dan kedaulatan Negara.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, menjelaskan Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang masuk dan keluar Wilayah Indonesia serta pengawasannya dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan Negara. Indonesia menganut politik hukum keimigrasian selective policy (kebijakan selektif). Dalam penerapannya, kebijakan selektif harus pula mempertimbangkan keseimbangan antara pendekatan keamanan dan pendekatan kesejahteraan. Artinya, hanya orang asing yang bermanfaat bagi kesejahteraan dan tidak membahayakan keamanan berpotensi mengancam kedaulatan Negara lah yang diperkenankan masuk dan tinggal di Indonesia.
Imigrasi mengemban tugas atas amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Dalam menjalankan tugas dan fungsi, imigrasi harus mengutamakan kedaulatan dan keamanan Negara. Orang asing yang masuk ke wilayah Indonesia melalui Tempat Pemeriksaan Imigrasi, adalah orang asing yang wajib memiliki dokumen perjalanan dan visa yang sah dan masih berlaku. Berdasarkan asas selective policy, pengungsi luar negeri dan pencari suaka tidak tergolong orang asing yang dimaksud tersebut. Pengungsi luar negeri dan pencari suaka tidak mendapat jaminan mutlak untuk tinggal di Indonesia.
Peran UNHCR dan Tidak Adanya Kepastian
Kepedulian dan rasa kemanusiaan telah ditunjukkan oleh masyarakat Indonesia terhadap keberadaan pengungsi luar negeri dan pencari suaka di Indonesia. Hal ini bukan berarti sembarang menilai tradisi masyarakat Indonesia mudah menerima pengungsi luar negeri dan pencari suaka. Keamanan masyarakat perlu dilindungi dari segala bentuk gangguan dan ancaman, kedaulatan Negara perlu selalu ditegakkan.
Karena alasan penting tersebut lah, sudah saatnya UNHCR berperan aktif dalam penanganan pengungsi luar negeri dan pencari suaka di Indonesia. Dikutip dari laman resmi UNHCR Indonesia www.unhcr.org/id , UNHCR mengemban tugas menjalankan prosedur Penentuan Status Pengungsi yang dimulai dengan registrasi atau pendaftaran terhadap para pencari suaka. UNHCR mengemban tugas penting menentukan status pengungsi bagi pencari suaka hingga penempatan di Negara lain.
Keberadaan UNHCR di Indonesia ini menjadi motivasi dan alasan keberadaan pengungsi luar negeri dan pencari suaka di Indonesia. Bayang-bayang harapan diregistrasi berstatus pengungsi oleh UNHCR dan ditempatkan di Negara tujuan (Negara ketiga) lah yang menjadi alasan bagi pengungsi luar negeri dan pencari suaka di Indonesia.
UNHCR sudah saatnya fokus pada tugas yang diamanatkan. Transparansi dan independensi UNHCR dalam memberikan kartu pengungsi bagi pencari suaka perlu dipertanggungjawabkan dan bijak bila dipublikasikan. Fakta di lapangan, tidak sedikit pencari suaka yang telah memenuhi syarat untuk diberikan kartu pengungsi, saat wawancara justru ditolak dengan alasan yang menimbulkan perdebatan.
Selanjutnya, yang harus dipertanggungjawabkan oleh UNHCR adalah persoalan kepastian waktu penempatan ke Negara ketiga. Pencari suaka yang telah ditetapkan berstatus pengungsi membutuhkan kepastian waktu dari UNHCR. Bukan lagi ada pembiaran hinga bertahun-tahun tak ada kejelasan yang diperoleh oleh pengungsi luar negeri dan pencari suaka.
Bila UNHCR pun melalui IOM (International Organization for Migration) mampu menjalankan tugas dengan baik dan berperan aktif, berkenan memberikan penjelasan bagi kegelisahan para pengungsi luar negeri dan pencari suaka, dan dapat memberikan kepastian waktu penempatan ke Negara ketiga. Unjuk rasa dan aksi bakar diri oleh pengungsi luar negeri dan pencari suaka tentu tidak akan terjadi. Karena pengungsi luar negeri dan pencari suaka bukan orang yang kebal hukum. Keamanan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia bukanlah hal yang dapat didiskusikan. #fauziabdullah

Tidak ada komentar: