Arsip Blog

Jumat, 27 September 2024

BABAK BARU UU IMIGRASI

 


SETELAH 13 tahun perjalanannya, kini UU Imigrasi akan memasuki babak baru. Sebagai hal ihwal yang mengatur lalu lintas orang yang masuk dan keluar wilayah Indonesia yang begitu dinamis, sekaligus menjaga kedaulatan negara. 13 tahun itu terbilang sangat lama. Karena sejatinya hukum mampu mengikuti perubahan.

Kini UU Imigrasi memasuki babak baru. Ini prestasi baru bagi Menteri Hukum dan HAM yang baru, Bapak Supratman Andi Agtas, dan Direktur Jenderal Imigrasi Bapak Silmy Karim.

Tak perlu terkejut sekarang. Saya telah banyak menulis tentang RUU Keimigrasian. Lihat saja postingan di media sosial ini. Kalau maksa dan masih penasaran, esensinya yang saya bahas seputar kewenangan pengawasan orang asing.

Kalau kemarin Pengawasan Orang Asing adalah kewenangan Imigrasi. Dengan hadirnya UU Imigrasi yang baru, sudah tidak lagi. Pengawasan orang asing sudah tidak lagi kewenangan yang hanya dimiliki Imigrasi.

Membahas itu kita bisa lihat melalui kacamata politik hukum. Ini ilmu yang sangat berpengaruh sekali dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Politik hukum adalah hal yang tidak bisa dipisahkan dari peraturan perundang-undangan. Karena ada political will di situ. Sederhananya memahami politik hukum UU Imigrasi, dapat dipahami mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, hingga pengundangan.

Pun kamu sudah tahu itu. Babak baru UU Imigrasi sudah sampai tahap mana. Kamu benar. Kemarin, 19 September 2024 DPR mengesahkan RUU Imigrasi. Artinya, DPR bersama dengan Pemerintah telah bersepakat atas RUU tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian.

Babak baru UU Imigrasi kini tinggal ditandatangani Presiden. Artinya, RUU Imigrasi yang sudah disahkan itu tinggal butuh waktu 30 hari lagi saja, ditandatangani ataupun tidak ditandangani oleh Presiden. RUU Imigrasi sah menjadi UU dan wajib diundangkan.

Ketentuan itu jelas dan terang diatur. Lihat saja langsung bunyi UUD 1945 Pasal 20 ayat (5). Lalu kemudian, Menteri Hukum dan HAM mengesahkan dan memasukkan UU Imigrasi dalam lembar negara termasuk penomoran UU Imigrasi sesuai urutan penomoran lembar negara. Dengan atau tanpa tanda tangan Presiden.



Apa saja yang direvisi di UU Imigrasi yang baru? Secara esensi, ada Sembilan perubahan dalam UU Imigrasi. Pun kamu sudah tahu apa yang Sembilan itu.

Kesembilannya saya tidak tuliskan kajian rincinya di sini. Yang jelas, di babak baru UU Imigrasi ini saya bersyukur, UU Imigrasi telah mengindahkan naskah akademik. Di tulisan sebelumnya, saya sering tegas membilangkan, bahwa UU 6/2011 tidak memiliki naskah akademik. Secara politik hukum ada yang kurang pas.

Kajian yang saya fokuskan di tulisan ini, 2 hal saja. Satu yang sudah saya singgung di atas, tentang Kewenangan Pengawasan Orang Asing. Dan yang kedua, tentang Pejabat Imigrasi yang dibekali Senjata Api.

Kita mulai dari Pasal 72 RUU Imigrasi. Ada penambahan frasa “dan/atau Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia”. Yang sebelumnya cukup di Pejabat Imigrasi. Ini yang saya maksudkan kewenangan pengawasan orang asing ada di Pejabat Imigrasi dan/atau Pejabat Kepolisian Republik Indonesia. Alasan sinergitas baik di sini, artinya ada koordinasi dan sinergi antar penegak hukum dalam melakukan pengawasan terhadap orang asing.

Namun, ini rentan tumpang tindih pelaksanaan kewenangan di lapangan. Implikasi terminologi pengawasan orang asing bisa jadi menimbulkan kebingungan di masyarakat.

Sejarah hukum pelaksanaan regulasi ini dapat dilihat. Frasa Pejabat Polri bukan hal baru di UU Imigrasi. Telah ada di UU Imigrasi yang lama, UU 9/1992. Namun, frasa itu dihilangkan ketika UU 6/2011 diundangkan dan diatur tegas dalam Pasal 71-75 UU 6/2011 perubahan kedua UU Imigrasi. Kini, muncul Kembali dengan penambahan frasa di Pasal 72 di perubahan ketiga UU Imigrasi.

Pasal 72 di perubahan ketiga UU Imigrasi secara terang mengakomodir Pasal 16A huruf d RUU Polri. “Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk melakukan deteksi dini dan peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan terhadap setiap hakikat ancaman termasuk keberadaan dan kegiatan orang asing guna mengamankan kepentingan nasional dan menjunjung tinggi hak asasi manusia”.

Kemudian, tentang Pejabat Imigrasi yang dilengkapi senjata api. Tercantum dalam Pasal 3 ayat (4) UU Imigrasi yang baru. Tunggu dulu, jangan sampai keliru menerjemahkan. Karena bukan seluruh pejabat imigrasi. Pejabat Imigrasi tertentu dapat dilengkapi dilengkapi senjata api. Ini sebagai perlindungan diri.

Ini menarik, karena memang dalam bertugas pegawai imigrasi tak jarang rentan keselamatan diri. Tapi, kepemilikan senjata api dan perlindungan diri bersifat individualis dan sangat subjektif. Bahkan, Brian Z. Tamanaha dalam bukunya ‘Law as a means to an end’ mengingatkan bahwa perlindungan diri sangat tergantung persepsi individu. Artinya, konsteks dan situasi kepemilikan senjata api dan perlindungan diri sangat mungkin menimbulkan perdebatan lebih lanjut.

Beda halnya dengan perlindungan hukum. Memang, cukup disayangkan UU Imigrasi yang baru belum juga membahas terkait Perlindungan Hukum bagi Pegawai Imigrasi. Di tulisan-tulisan sebelumnya saya sudah mengutarakan konsep perlindungan hukum bagi pegawai Imigrasi. Karena pegawai imigrasi rentan kriminalisasi hingga terancam keselamatan diri dalam bertugas. Tapi, di UU Imigrasi yang baru belum juga mengatur rinci perlindungan hukum bagi seluruh pegawai imigrasi.

Padahal lebih penting, perlindungan hukum bukan hanya tentang individu. Perlindungan hukum mencakup hak seluruh pegawai imigrasi yang diakui secara resmi dan diakui oleh negara. Ini alasan saya sampaikan bahwa penting perlindungan hukum pegawai Imigrasi diatur dalam UU Imigrasi.

Dalam konteks pegawai imigrasi, jelas senjata api dalam keadaan tertentu dibutuhkan. Namun, perlindungan hukum jauh lebih penting daripada perlindungan diri. Filsuf hukum dalam bukunya yang begitu terkenal ‘The Concept of Law’, Hart telah menasihati bahwa perlindungan hukum bersifat objektif dan dapat diakses melalui sistem hukum. Beda halnya dengan perlindungan diri yang bersifat subjektif. Karena tanpa perlindungan hukum, perlindungan diri bersifat reaktif, tidak terjamin dan rentan ugal-ugalan.

Menurut kamu, lebih penting perlindungan diri atau perlindungan hukum yang dapat diakses oleh seluruh pegawai imigrasi?

*Fauzi Abdullah, penulis ebook ‘Seluk-Beluk Hukum Keimigrasian’



Tidak ada komentar: