Arsip Blog

Kamis, 26 Maret 2009

POLA PENGASUHAN ANAK (Studi Antropologi Tentang Pola Pengasuhan Anak yang Dilakukan Orangtua Terhadap Anak Mereka)




Pendahuluan

Tujuan pembangunan budaya adalah mewujudkan kehidupan jati diri dan identitas untuk mewujudkan kehidupan sosial budaya yang berkepribadian dan mempunyai daya tahan terhadap pengaruh negatif globalisasi.

Kesunyian malam hadir dan mengisi warna bumi. Dan waktu selalu memberikan kesempatan pada manusia beristirahat serta menjalin komunikasi dengan keluarga. Di pojokan rumah, para orangtua menceritakan dongeng untuk anak-anaknya sebagai pengantar tidur. Dahulu, dari cerita tentang kepahlawanan, kejujuran, sampai pada pentingnya sebuah sikap surut berpantang menyerah untuk kebenaran sangat ramah terdengar di telinga walau hanya disaat mata mulai memejam. Dan memulai cerita-cerita itu pulalah kita dapat menanamkan nilai-nilai yang baik pada anak-anak sejak dini.

Pengasuhan anak (di usia dini) merupakan salah satu bentuk perhatian orangtua terhadap anak-anak mereka yang sangat penting untuk membentuk jati diri seorang anak kelak dewasa nantinya. Kajian mengenai pengasuhan anak (di usia dini) sudah sangat banyak dilakukan, baik itu yang dilakukan pada masyarakat di dalam maupun di luar negeri. Tata cara pengasuhan yang dilakukan orangtua terhadap anak mereka ini dapat dikatakan sebagai sesuatu yang sudah sangat lama dilakukan dan dengan topik yang sangat bervariasi, hanya saja kajian mengenai tata cara pengasuhan yang dilakukan orangtua terhadap anak ini berbeda dalam suatu ruang lingkup dan wilayah.



Gaya Hidup dan Kepribadian

Robert Redfield mengenai teorinya yang disebut Gaya Hidup Petani Desa (The Peasant Style of Life) atau dapat disebut sebagai Tipe Kepribadian Petani Desa (The Personality Type of The Peasant). Redclife percaya tentang adanya gaya hidup (Life Style) khas masyarakat petani desa, yaitu yang ditandai dengan seperangkat sikap dan nilai sebagai berikut. Yang pertama, Redfield mengatakan sikap yang praktis dan mencari yang berfaedah (utilitarian) tehadap alam. Motifikasinya untuk bekerja bukan saja untuk menghasilkan sesuatu bagi hidupnya, melainkan juga untuk memenuhi perintah dewa. Kedua, mereka lebih menonjolkan pada segi perasaan daripada rasio. Ketiga, mereka sangat mengutamakan (concern) pada kesejahteraan hidup dan kepastian hidup. Keempat, mereka sangat menghargai prokreasi, yakni untuk mempunyai keturunan yang banyak. Kelima, mereka mendambakan kekayaan. Keenam, menghubungkan keadilan sosial dengan pekerjaan. Lalu Prof. Dr. James danandjaja berdasarkan penelitiannya di beberapa desa seperti Trunyan di Bali dan Sitelu Banua di pulau Nias bagian utara, dia menyimpulkan dan menambahkan adanya tiga sikap dan nilai. Ketujuh, mereka bersifat konservatif. Kedelapan, mereka gemar memamerkan kekayaan. Kesembilan, strategi yang mereka pergunakan untuk menolak paksaan dari luar adalah dengan cara penolakan yang bersifat pasif (passive resistance).

Menurut Kardiner, Linton dan DuBois, berdasarkan teori mereka yang dinamakan Struktur Kepribadian Dasar adalah: ”Intisari dari kepribadian, yang dimilliki oleh kebanyakan anggota masyarakat, sebagai akibat pengalaman mereka pada masa kanak-kanak yang sama (Kardiner, dkk., 1959:viii).

Yang termasuk dalam struktur kepribadian dasar adalah: (1) teknik berpikir (technique of thinkings), misalnya ilmiah atau animistis; (2) sikap terhadap benda hidup atau mati (attitude toward objects), misalnya menerima atau menolak, tergantung dari pengalamannya sewaktu masih kanak-kanak; (3) sistem keamanan dan kesejahteraan (security system), yang dapat dinilai dari kecemasan dan kekecewaan karena ketidakberdayaan sewaktu masih kanak-kanak; dan pembagian super ego, atau bagian kepribadian dari individu yang terbentuk dengan jalan pengambilalihan pandangan hidup dari orangtuanya (Kardiner, 1961:230).



Sejarah dan Letak Geografis Desa Lubuk Saban

Sejarah
Tidak mudah menemukan bukti yang riil sejak kapan Desa Lubuk Saban ini berdiri maupun sejarah yang tersimpan jauh sebelum Desa Lubuk Saban ada seperti saat sekarang ini. Berdasarkan pengalaman penulis dalam penelitian, penulis cukup banyak melakukan wawancara dengan warga dari berbagai usia, penduduk asli maupun penduduk pendatang baru dan penduduk pendatang yang sudah berpuluh tahun menetap. Dari hasil wawancara tersebut cukup banyak pula peneliti mendapatkan jawaban yang tidak sesuai seperti yang diharapkan, banyak penduduk dengan memberikan keterangan yang sama sekali tidak mengetahui sejarah desa yang didiaminya. Apabila boleh penulis paparkan disini, salah satu keterangan tersebut adalah berdasarkan keterangan Pak Amhar usia 61 tahun, yaitu:

” Sekitar tahun 1940-an, dulunya desa ini jarang penduduknya, masih dari ujung ke ujung. Lubuk itu kolam ikan yang juga kaplingan-kaplingan yang luas. Saban itu pemilik lubuk itu.”

Pak Amhar menyebutkan bahwa, desa Lubuk Saban ini dahulunya masih jarang sekali penduduknya. Nama Lubuk Saban itu sendiri menurutnya terdiri dari dua kata yaitu Lubuk dan Saban. Menurutnya, Lubuk itu berarti kolam ikan yang merupakan kaplingan-kaplingan luas yang dimiliki seseorang pada saat dahulu. Dan kata Saban itu sendiri berarti pemilik lubuk yang luas tersebut.

Berdasarkan keterangan-keterangan yang tidak cukup memuaskan bagi penulis. Penulis coba mendatangi Kepala Desa, tetapi hal tersebut terbenturan dengan waktu penelitian penulis yang hanya dilakukan selama tiga hari ( Jum’at sore, Sabtu, Minggu ) dalam Praktek Kuliah Lapangan yang merupakan matakuliah pada jurusan Antropologi Sosial Universitas Sumatera Utara. Pada saat penulis mendatangi Kepala Desa pada hari Sabtu pagi, Kepala Desa mengatakan ” Wah, kantor sudah tutuplah!”. Yakni hal tersebut bertepatan dengan tidak saat jam kerja Kantor Kepala Desa, dan sama sekali Kantor Kepala Desa tersebut tutup. Berdasarkan keterangan Bapak Kepala Desa tersebut, disana bisa didapat mengenai data-data mengenai mungkin sejarah desa ini. Bahkan Bapak Kepala Desa ini sendiri tidak mengetahui sejarah desa ini, sebab latar belakang merupakan bukan penduduk asli melainkan penduduk pendatang. Hanya saja penulis mendapatkan keterangan mengenai bahawasanya desa Lubuk Saban ini merupakan salah satu desa yang mendapatkan pemekaran dari pemerintah. Pemekaran terjadi pada sekitar tahun 2005, bahwa sebelumnya desa Lubuk Saban ini merupakan desa yang tercantum dalam ruang lingkup Kabupaten Deli Serdang dan sekarang telah termasuk ke dalam ruang lingkup Kabupaten Serdang Bedagai.

Letak Geografis
Letak geografis desa Lubuk Saban ini dapat penulis paparkan berdasarkan pengalaman yang peneliti dapatkan. Yaitu sejak berangkatnya peneliti dari kota Medan, Sumatera Utara. Dari kota Medan dengan menggunakan sepeda motor ataupun Bis Kota hanya menghabiskan waktu sekitar 1 jam s/d 2 jam lamanya. Dengan melalui rute Medan – Tj. Morawa – Lubuk Pakam / Kabupaten Deli Serdang – Perbaungan – Kecamatan Pantai Cermin / Desa Lubuk Saban / Kabupaten Serdang Bedagai. Desa Lubuk Saban merupakan salah satu desa dari beberapa desa dalam ruang lingkup Kecamatan Pantai Cermin, Kabupaten Serdang Bedagai. Dan Desa Lubuk Saban mempunyai luas sekitar 610 hektar.


Suku Bangsa dan Mata Pencaharian Penduduk Desa Lubuk Saban

Berdasarkan teori-teori yang telah dikemukakan, bahwa mata pencaharian orangtua juga sangat berpengaruh bagi perkembangan kepribadian si anak baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Begitu juga halnya dengan suku bangsa, ataupun suku bangsa dominan yang melekat dan menjadi jati diri seseorang / orangtua. Dan berdasarkan suku bangsa yang dimiliki orangtua yang membentuk karakternya tersendiri, hal tersebut dapat menjadi pengambilalihan pandangan hidup bagi si anak dari orangtuanya tersebut.

Dalam memperoleh informasi mengenai suku bangsa dan mata pencaharian penduduk Desa Lubuk Saban, penulis menanyakannya langsung kepada Kepala Desa Lubuk Saban yang dianggap hal seperti ini sudah menjadi salah satu tugasnya.

Suku Bangsa Penduduk
Desa dengan penduduk 2454 jiwa ini yakni sebanyak 1219 terdiri wanita dan 1235 terdiri laki-laki, suku bangsa penduduknya yang mendiami desa Lubuk Saban terdiri dari berbagai suku bangsa (multietnis ). Yaitu suku bangsa Melayu, suku bangsa Tapanuli ( Batak ), suku bangsa Banjar, dan suku bangsa Tionghoa ( 1 orang ). Meskipun terdiri dari beberapa suku bangsa Lubuk Saban memiliki salah satu suku bangsa yang lebih dominan baik dari segi jumlahnya seperti halnya di daerah-daerah lain pada umumnya. Suku bangsa Jawa lah yang mendominasi, hal tersebut berdasarkan keterangan yang didapat dari Kepala Desa dan beberapa informan. Mengenai hal suku bangsa Jawa yang mendominasi ini pula juga dirasakan penulis, yaitu salah satunya tidak jarang komunikasi antar penduduk di desa ini dengan menggunakan bahasa Jawa. Dalam hal jumlah, suku bangsa terbanyak kedua adalah suku bangsa Banjar, lalu suku bangsa Tapanuli, suku bangsa Melayu dan terakhir suku bangsa Tionghoa.

Mata Pencaharian Penduduk
Desa yang merupakan daerah pesisir pantai ini memiliki banyak lahan yang luas yang ditanami padi dan tak jarang pula lahan yang masih kosong tidak ditumbuhi pepohonan sekalipun ataupun hanya ditumbuhi ilalang. Berdasarkan keterangan yang didapat, mata pencaharian penduduk disini terdiri dari banyak jenis mata pencaharian, yaitu nelayan, petani, pedagang ( ataupun yang bergerak di bidang jasa ), beternak, dan ada pula yang berprofesi sebagai staf pengajar. Keterangan Kepala Desa kepada penulis, dia mengatakan bahwa mata pencahrian penduduk paling banyak adalah berdagang ataupun yang berprofesi di bedang jasa disamping matapencaharian sebagai petani, nelayan dan staf pengajar ataupun sebagai staf di pemerintahan.



Informan Sebagai Subjek Penelitian

Guna mendapatkan informasi ataupun data-data untuk melengkapi tentunya sangat berperan seseorang yang benar mengetahui dan menguasai benar sesuatu terhadap informasi tersebut, yang disebut sebagai subjek penelitian. Dalam kesempatan pada penelitian yang telah dilakukan, penulis hanya berkesempatan bertemu dan melakukan wawancara langsung kepada beberapa informan saja. Meskipun demikian, disamping Kepala Desa dan Ibu Kepala Desa yang diwawancarai sekurangnya terdapat enam orang informan. Dari enam orang subjek kajian, tiga diantaranya orangtua yang telah memiliki anak dan selebihnya adalah anak usia Sekolah Dasar. Keenam orang tersebut berdasarkan mata pencahriannya adalah Pak Din ( 47 tahun ), seorang petani, peternak kambing dan nelayan; Pak Amhar ( 61 tahun ), seorang petani; Pak Anto ( 40 tahun ), seorang nelayan udang dan agen udang, Dion ( 8 Tahun ), anak seorang pekerja kantor; Rizal ( 9 Tahun ), anak seorang peternak kambing; Hendra ( 8 Tahun ), anak seorang peternak kerbau. Berikut akan dipaparkan gambaran singkat para subjek penelitian.
1. Pak Din, saat ini berusia 47 tahun. Berstatus pendidikan tidak tamat Sekolah Dasar. Seorang yang bermatapencaharian sebagai petani, nelayan, dan peternak kambing. Seorang pendatang ( bukan penduduk asli desa Lubuk Saban ), asal Lubuk Pakam dan sudah dua puluh tahun mendiami Lubuk Saban. Bersuku bangsa Jawa, menikah diumur 30 tahun dengan seorang wanita penduduk asli desa Lubuk Saban yang juga bersuku bangsa Jawa. Mempunyai dua orang anak laki-laki, anak yang pertama bernama Nur Muhammad berusia 20 tahun berstatus pendidikan tidak tamat SMK dan sekarang bekerja sebagai montir bengkel di jl. Gagak Hitam, Medan. Anak kedua Muhammad Riyadi berusia 8 tahun dan masih duduk di kelas lima Sekolah Dasar.
2. Pak Amhar, saat ini berusia 61 tahun. Berstatus pendidikan tidak tamat Sekolah Dasar. Seorang yang bermatapencaharian sebagai petani. Merupakan seorang pendatang yang bersuku bangsa Melayu, menikahi sorang wanita yang juga merupakan seorang pendatang bersuku bangsa Banjar. Memiliki beberapa orang anak dan sudah memiliki beberapa orang cucu.
3. Pak Anto, saat ini berusia 40 tahun. Cucu seorang Kepala Desa desa Lubuk Saban pada tahun 1940_an. Berstatus pendidikan tidak tamat Sekolah Menengah Pertama. Seorang yang bermatapencaharian sebagai petani udang dan agen udang. Seorang penduduk asli desa Lubuk Saban yang bersuku bangsa Jawa, menikah pada usia 23 tahun dengan seorang wanita yang juga merupakan penduduk asli desa Lubuk Saban dan bersuku bangsa Jawa. Istrinya bernama Paikem berusia 34 tahun yang berprofesi sebagai pedagang bakso di warung miliknya sendiri di areal lingkungan rumah miliknya, seorang wanita yang berstatus pendidikan tidak tamat Sekolah Dasar. Memiliki dua orang anak, yang pertama bernama Joko berusia kelas dua Sekolah Menengah Atas dan yang kedua bernama Ayu berusia Sekolah Dasar.
4. Dion, saat ini berusia 8 tahun dan duduk di bangku kelas tiga Sekolah Dasar. Anak seorang pekerja kantor dan memiliki pembantu di rumah, bersuku bangsa Jawa. Selain sekolah di pagi hari yaitu dari setengah delapan sampai pukul setengah satu, kegiatan Dion adalah bermain seusai makan siang dan tidur siang, dan di waktu sore yaitu sekitar pukul enam sore mengaji di masjid desa Lubuk Saban.
5. Rizal, saat ini berusia 9 tahun dan duduk di kelas lima Sekolah Dasar. Anak seorang perternak kambing, bersuku bangsa Jawa. Selain sekolah kegiatannnya seusai makan siang mencari makanan kambing yang sudah menjadi tugasnya.
6. Hendra, berusia 8 tahun dan duduk di bangku kelas dua Sekolah Dasar. Anak seorang peternak kerbau, bersuku bangsa Banjar. Selain sekolah kegiatannya adalah mengangon kerbau dan membantu orangtuanya mencari makanan kerbau.



Pengasuhan Anak: Faktor-Faktor Penting

Keenam subjek penelitian ini menggambarkan adanya suatu pola yang bersifat khusus, yakni sebagian dari mereka bersukubangsa Jawa dan merupakan pendatang dan sisanya di luar yang lainnya. Seperti halnya teori-teori yang telah dikemukakan, bahwa dalam pembahasan mengenai pegasuhan anak ini berkenakan dengan status mata pencaharian dan suku bangsa yang dimiliki.

Secara sederhana dapat terlihat dari pola-pola pengasuhan anak yang dilakukan oleh para orangtua di Desa Lubuk Saban dengan latar belakang status pendidikan, kebutuhan akan hidup, mata pencaharian dan suku bangsa sebagai jati diri sekalipun.

Pengasuhan Anak dan Pembentuk Kepribadian
Harus diakui, bahwa tidak mudah dalam persoalan pengasuhan anak, dan hal ini pula yang harus dilalui oleh para orangtua sebagai pengasuh sang anak. Meskipun demikian, dapat ditarik sebuah pembeda yang tegas dalam hal pola pengasuhan anak yang dilakukan para orangtua sebagai pengasuh.

Pak Anto misalnya, berdasarkan keterangannya bahwa pendidikan yang diberikannya secara langsung ke anak dengan yang dinamakannya motivasi. Yaitu dengan memberikan sesuatu terhadap anak dengan tujuan agar si anak menjadi semakin terdorong semangat untuk sekolah (belajar). Sebagai contoh dia menyebutkannya, kepada anak yang kedua misalnya. Kepada Ayu yang masih duduk di Sekolah Dasar, tiap kenaikan kelas Pak Anto selalu menuruti keinginan anaknya memperoleh sepeda baru, bahkan dia mengatakan tiap tahunnya Ayu selalu mendapatkan sepeda baru. Terhadap anak pertamanya (Anto), Anto dituruti keinginannya memperoleh kereta (sepeda motor) ketika Anto berhasil lulus di SMA Negeri ketika itu. Di luar itu Pak Anto menyebutkan, bahwasanya dia menerapkan pola pengasuhan seperti itu dengan tujuan dan harapan bahwa dia tidak mau sang anak nantinya merasakan susah (kesulitan ekonomi) seperti yang ia alami sebelumnya, jangan balas dendam ke anak katanya.

Lain halnya dengan Pak Anto, pada Pak Din menerapkan pola pengasuhan terhadap anaknya yang dia sebut dengan ’biasa saja’. Pak Din mengatakan bahwa sebenarnya dia (orangtua pada umumnya) menginginkan anak bisa sekolah bahkan bisa menamatkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi dan dapat membantu perekonomian keluarga. Cerita Pak Din tentang anak pertamanya (Nur Muhammad), dia menerangkan secara gamblang. Bahwa Nur Muhammad dahulu ketika dia duduk di bangku kelas dua SMK (Sekolah Menengah Kejuruan), dia bandal dan sering tidak mau sekolah. Nur Muhammad sempat menjadi pemakai NARKOBA (Narkotika dan Obat-obatan Terlarang), suatu ketika perlakuan Nur Muhammad diketahui polisi. Namun Nur Muhammad berusaha kabur melarikan diri dan berhasil lepas dari incaran polisi. Sekarang Nur Muhammad tinggal di jalan Gagak Hitam (Medan) dan bekerja sebagai montir di suatu bengkel. Pak Din menjelaskan, bahwa dia membiarkan anaknya menjadi incaran polisi, bahkan disaat Nur Muhammad berusaha kabur Pak Din tetap membiarkan anaknya. Pak Din bersikap seperti itu dengan maksud dan tujuan tertentu, yaitu agar sang anak dapat merasakan ’garam’nya kehidupan. Agar anak dapat merasakan betapa susahnya ’mencari makan’, betapa susahnya orangtua mencari uang untuk memenuhi biaya sekolah dengan sungguh-sungguh.



Pola Pengasuhan Anak, Sebuah Kesimpulan

Berbagai pola pengasuhan yang dilakukan para orangtua pada dasarnya adalah upaya mereka untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik melalui regenerasi terhadap anak mereka dengan bersekolah ataupun sekedar membantu pekerjaan orangtua. Bagi orangtua yang hanya seorang yang bukan tamatan pendidikan, merekapun ingin agar anaknya merasakan dunia pendidikan formal sepanjang orangtua mampu mengumpulkan biaya untuk menyekolahkan.

Pola pengasuhan pun tampak berbeda, yang juga dipengaruhi oleh pembawaan orangtua dan berpengaruhnya terhadap anak. Dalam hal matapencaharian dan suku bangsa yang melekat dalam diri orangtua yang lebih cenderung turun kepada anaknya.

Sebagai contoh, sikap yang diterapkan Pak Anto terhadap anak merupakan sikap yang penuh dengan motivasi dan harapan, sehingga lebih memanjakan anaknya apabila sang anak berhasil memperoleh suatu prestasi dengan tujuan agar sang anak menjadi semakin bersemangat untuk memperoleh prestasi yang lebih ataupun setara dari yang sebelumnya. Dan pada Pak Din yang menerapkan pola pengasuhan yang ’keras’ terhadap anak itupun dengan maksud-maksud tertentu pula. Pak Din yang berbagai matapencaharian yang dijalaninya menunjukkan bahwa susahnya dalam hal mencari penghasilan untuk biaya hidup dan menyekolahkan anak dengan tujuan yang sama yaitu mencari kehidupan kearah yang lebih baik dengan kecukupan ekonomi dan dapat hidup dengan tenang.

Pola pengasuhan anak yang dilakukan orangtua terhadap anak mereka ini memberikan suatu gambaran mengenai kompleksitas permasalahan dalam hal proses panjang pengasuhan anak yang harus dilalui, dimana masalah pola pengasuhan anak ini tidak hanya dipengaruhi oleh latar belakang suku bangsa, matapencaharian, latar lingkungan, namun juga terkait dengan faktor ekonomi, sosial dan budaya. Sebagai sebuah studi, pola pengasuhan anak yang dilakukan orangtua terhadap anak mereka ini memberikan gambaran betapa usaha yang dilakukan orangtua untuk mempertahankan eksistensi keluarga di tengah pilihan yang terbatas. Satu hal yang harus dicatat, bahwa semua subjek mengakui, bahwa mereka ingin kehidupan yang lebih baik dan tidak merasakan susah dengan regenerasi terhadap sang anak, setidaknya hal ini dapat dilihat dalam pandangan Pak Anto bahwa anak tidak boleh merasakan susah dan ’tidak boleh berbalas dendam terhadap anak’ walaupun dengan latar belakang tidak pernah merasakan dunia pendidikan formal, apapun bakal diusahakan demi menuruti keinginan anak dengan tujuan dapat lebih memotivasi semangat belajar terhadap anak. Semoga apa yang diharapkan oleh para orangtua di Desa Lubuk Saban ini bukanlah sekedar mimpi di siang hari, meskipun tantangan yang harus mereka hadapi begitu banyak dan bahkan belum jelas tampak seperti apa sebuah rintangan itu ada.



Daftar Bacaan;

Budaya, Nuansa
2006 ”Biarlah Mereka Tetap Menjadi Samin”. Yogyakarta: LPPM Nuansa

Danandjaja, James
1988 ”Antropologi Psikologi”. Jakarta: Rajawali Pers

Rabu, 25 Maret 2009

Ntahaha..,

“heyyyyy…… heyyyyyy. Ini ni, lagi OL OL an nak muda na di facebook. Maklum marOoook”..

Inilah enaknya facebook ni, bisa kek ym an dia. Tapi gak scanggih ym dink. Kalo chat di facebook ni suka ngadat2 dia. Udah lah, bukan facebook yang mau aku bahas we.





RIZKY ARMILA
Naah, ini ni. Si Kiki ini (nama panggilannya katanya) kawan aku waktu zaman2 bimbingan SSC dulu waktu SMA tuk ngadepin SPMB gt. Tapi aku herannya..
Gila, aku pikir ni anak seram kali cuy (waktu-waktu masih muda dulu). Dari perawakan na tu lo, tahu lah ko orang2 Batak Mandailing ne, dia mengingatkan aku ma guru ngaji aq yang super judes, Bu Mas nama guru ngaji aq dulu, ’cuma dia yang ngajari aku, baca Al_Qur’an gak boleh ngebut/cepat2, harus bernada.

Eits, Mari Kita Kembali ke Topik. Rizky Armila? Iya we, ni sekarang aku lagi chat ma dia. ’Laperrrr Zi’ katanya. Nah itu dia, ’kok jadi gak ngrasa gak seram lagi aku ya ma anak 1 ini?’ Bingung aku wee, ntahaha pun dah aku ni. Tuk ngilangin grogi aku tadi, ntahaha lah pembahsan omongan aku ma dia jadinya. (kelen pun ntahaha baca2). Nah, saking ntahaha nya aku, aku belajar ngegombal aja ma dia.
’Cihuuuyyy cihuy lah’ yang aku bilang.
’yuuuuuuuuuHhuuuuu lah’ yang aku bilang.

”kira2 berhasil gak ya ki ngegombal nak muda na ni?” ini yang kutanya langsung ma si Kiki.

.............aH udahla, gak tahu lagi aku apa yang mau aku tulis......

Ntahaha,

Iya,
Ntahaha memang !!

TEORI STRUKTURALIS FUNGSIONALISME RADCLIFFE-BROWN

“Sering kali saya digolongkan sebagai Aliran Fungsional dalam Antropologi Sosial”, bahkan dipandang sebagai pemimpinnya. Aliran fungsional ini tidak benar-benar ada; ia adalah dongeng yang ditemukan oleh Profesor Malinowski …. Tidak ada tempat dalam ilmu alamiah bagi ‘aliran’ dalam pengertian ini, dan saya menganggap antropologi sosial sebagai cabang ilmu alamiah.
…Saya memandang antropologi sosial sebagai ilmu alamiah teoritis mengenai masyarakat manusia, yakni penelitian mengenai gejala sosial dengan menggunakan metode yang pada hakekatnya sama dengan yang digunakan dengan ilmu fisika dan biologi. Saya cenderung menyebut bidang ini sebagai ‘sosiologi komparatif’, kalu boleh dikatakan demikian.”
- Radcliffe-Brown -
(A.R. Radcliffe –Brown, Structure and Function in Primitif Society, London, 1952, hlm. 188-9. Dan dicantumkan lagi dalam buku Adam Kuper, Pokok dan Tokoh ANTROPOLOGI, 1996).


On Social Structure Radcliffe-Brown:
1. Masyarakat yang hidup di tengah-tengah alam semesta sebenarnya terdiri dari serangkaian gejala-gejala yang dapat kita sebut gejala sosial. Demikian juga banyak hal lain dalam alam semesta ini, seperti planet-planet yang beredar, organisma-organisma yang hidup, molekul-molekul yang bergera; sebenarnya terdiri dari berbagai rangkaian gejala alam.
2. Masyarakat yang hidup sebenarnya juga merupakan suatu klas dari gejala-gejala diantara gejala-gejala alam yang lain, dan dapat juga dipelajari dengan metodologi yang dipergunakan untuk mempelajari gejala-gejala alam semesta lain tadi.
3. Suatu masyarakat yang hidup merupakan suatu sistem sosial, dan suatu sistem sosial mempunyai struktur juga seperti halnya bumi, organisma, makhluk atau molekul.
4. Suatu ilmu mengenai masyarakat seperti ilmu sosial, yang mempelajari struktur dan sistem-sistem sosial adalah sama halnya dengan ilmu geologi yang mempelajari struktur kulit bumi, atau ilmu biologi yang mempelajari struktur dari organisma-organisma, ilmu kimia yang mempelajari struktur dari molekul-molekul.
5. Suatu struktur sosial merupakan total dari jaringan hubungan antara individu-individu, atau lebih baik person-person dan kelompok-kelompok person. Dimensinya ada dua, yaitu: hubungan diadik, artinya antara pihak (yaitu person atau kelompok) kesatu dengan pihak kedua, tetapi juga diferensial, antara satu pihak dengan beberapa pihak yang berbeda-beda, atau sebaliknya.
6. “Bentuk dari struktur sosial” adalah tetap, dan kalau berubah, proses itu biasanya berjalan lambat sedangkan “realitas struktur sosial” atau wujud dari struktur sosial yaitu person-person atau kelompok-kelompok yang ada didalamnya selalu berubah dan berganti.

R A N C U

Baru aja aku dari bawah selesai dari kamar mandi membuang air yang berseni, ku teguk air minum yang aku tuang dari galon yang ada di dispenser. Naiki tangga kayu lagi aku, kututup pintu dan kinci pintu kamar. Aku berada di dalam kamar sekarang.
Aku mau mencantumkan tanggal hari ini disini, aku tarik hp Sony Ericsson seri T 290, aku dari atas tilam tempat tidur. Dilayar aaku dapati “ Tu 25/03/2008” dan “ 3:59 am”
Sialan! (buat diriku aku sendiri). Ini hari selasa. Lagi – lagi ini mata gak mau merem, di ajak kompromi dengan membaca dia gak tergoda, aku cumbui dengan cahaya monitor computer gak capek juga dia, ya udahlah memang kek gini maunya, aku turutilah!!
Selasa jam 10.10 pagi aku ada mata kuliah Kewirausahaan, aku belum pernah masuk yang udah 5 atau 6 kali pertemuan yang sampai hari ini lagi musim – musimnya mid semester.
1 Hari sebelum hari ini aku memang ke kampus tapi tetap gak kuliah, lagi – lagi di kantin. 1 harian aku gak ada masuk mata kuliah, karena mata ini minta di manjain setelah titik – titik embun pagi mulai terasa dari celah jendela di campur badan yang sok lemas padahal malas, intinya keterlambatan. Apa lagi sore tadi, dari start jam 4 atau tidur finishnya di jam setengah 9 malam, (mantap ku pikir)!. Sekitar jam 12 lewat sikitnya aku embat. Capucino hangat (nikmat aku pikir).
Udah gak usah pedulikan itu, aku lanjutin lagi ini Bosen Kelen?, aku juga bosen dah nih nulisnya, karena mata aku sendiri mulai mengejek sekaligus memanja dan berkedip sambil merayu “tidur yok” di tempat tidur dia malah suka melihat lukisan yang bermotif petak – petak berwarna putih di atasnya, yang aku tau lukisan itu terbuat dari asbes
Semakin bosan aku menulis, lebih baik aku lanjutkan………………………….

“Enaknya Gak Bisa tidur”
Sunyi ……………..
Lamunan …………….
Khayalan …………….
Enak kali ku pikir!!
Malam yang udah di lomba pagi ini enak kali aku pikir melakukan sesuatu, apalagi yang berbau yang kita inginkan………………….
Nonton Bokep?? Wess……..Sedap kali.
Suasananya hening…………………..
Apalagi Cuma awak sendiri di kamar
Orang seisi rumah dah tidur, apalagi Ortu kebanyakan selalu tepat jadwal untuk mengatur waktu di hari – hari berikutnya
Bakar rokok, angkat kaki di atas tempat duduk sekaligus jepit daging mungil yang ada di selangkangan sa’at pertunjukan lagi berjalan Wess………, Enak kali ku pikir
Banyak yang bisa di baca, bagi aku yang mood – moodan bukan tipe tekun membaca apalagi menghabiskan buku (sekarang ini aku lagi baca “Ayat – Ayat Cinta” karyanya Habiburrahman El Shirazy yang lagi hangat – hangat pemutaran filmnya di Indonesia sekarang ini, memang terlambat aku kalau kelen bilang tapi aku kepingin baca dan betul seru juga rupanya, tapi malas aku lanjutkan natah kenapa), bisa ada yang di baca walaupun kulitnya aja karena kadang terpancing dengan maksud mata bisa mengantuk, lelah dan tertidur (ternyata aku juga tidak berhasil dalam hal ini )
Hari ini juga yang dekat sama aku nge – sms dan telp aku, “hey………bangun, tahajud yok!
Hwe…Aku tersenyum, “iya…, memang selalu bangun kok!
Naah itu juga enaknya, di sa’at ingin ngisi waktu sendirian Aku kadang bisa senyum – senyum sendiri bisa langsung baca sms itu sa’at hp Aku menjerit, bukan di pagi tenangnya. Awalnya ( bisa begini, mungkin karena aku yang memuli kedia, yah…mumpung kalau lagi kayak gini, “ ora iso turu “, jadi mungkin si dia ngerasa ganti arah” )
Bisa mendengarkan adzan subuh juga, shalat subuh tepat waktu ( kalau gak lagi langsung takut gitu dengar adzan ).

(Tulisan ini aku tulis dalam suasana yang benar2 rancu. Tulisan ini masuk dalam kompilasi tulisan dalam buku mini 'akukalibah'....komunitas menulis)

Jumat, 20 Maret 2009

Aku Ingin Mengerti Budaya

Kata Kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari budi atau akal. Dari kata tersebut Kebudayaan dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan akal.
Ada banyak defenisi tentang Kebudayaan ini, sekitar 179 buah defenisi yang pernah dirumuskan di atas kertas (Koentjaraningrat; Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan; 1974).
Antara lain defenisi tersebut adalah:


“Kebudayaan adalah : keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.” (Menurut Ilmu Antropologi)


“Kebudayaan adalah : pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang memenuhi hasratnya akan keindahan. Dengan singkat: Kebudayaan adalah kesenian.”
(Defenisi dalam arti terlampau Sempit)


“Kebudayaan merupakan seluruh total dari pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya, dan yang karena itu hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah suatu proses belajar”
(Defenisi dalam arti luas menurut Para Ahli Ilmu sosial)


“Kebudayaan dan Tindakan Kebudayaan itu adalah segala tindakan yang harus dibiasakan oleh manusia dengan belajar (learned behavior)
(C. Wissler, C. Kluckhohn, A. Davis, A. Hoebel)


“Kebudayaan : Keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu”
(KOENTJARANINGRAT)


Dari semua defenisi kebudayaan yang ada di atas dapat kita perhatikan, bahwa tidak ada satupun dari semua defenisi yang ada yang luput dari kata belajar/proses belajar. Hal tersebut berarti bahwa hampir seluruh tindakan manusia adalah kebudayaan karena hanya sedikit sekali tindakan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang tak perlu dibiasakannya dengan belajar, yaitu hanya beberapa tindakan naluri beberaparefleks, beberapa tindakan akibat proses fisiologis, atau kelakuan apabila ia sedang membabi buta. Bahkan kemampuan naluri manusia yang dibawanya sejak lahir dalam gennya (misalnya makan, minum dan berjalan), juga dirombaknya menjadi tindakan berkebudayaan (Koentjaraningrat; Pengantar Ilmu Antropologi; 2002). Sebagai contoh, Manusia berjalan tidak menurut wujud organisma yang telah ditentukan oleh alam, melainkan manusia merombak cara berjalannya dengan seperti prajurit, peragawati bahkan sampai kepada laki-laki bergaya jalan lenggok seperti perempuan (bencong),dan sebagainya yang semuanya harus dipelajarinya dahulu.
Disini dapat kita tarik kesimpulan bahwasanya Kebudayaan ada karena adanya proses belajar yang mendahuluinya (kebiasaan).

Tanggapan Tulisan BUDI RAJAB. Kompas, Sabtu, 7 Februari 2009

Tulisan dan sekaligus merupakan kritikan dari Koentjaraningrat dan Mochtar Lubis tentang sikap mental bangsa Indonesia sangat tepat sekali, bahkan sampai saat sekarang ini seakan sudah lumrah kita rasakan.

Bicara mengenai budaya, yang menurut Koentjaraningrat adalah ide/pola pikir, tingkah laku manusia yang dilakukan secara terus-menurus. Mentalitas menerabas, tidak disiplin, tidak bertanggungjawab, tidak memiliki rasa penyesalan, dan hal-hal lainnya yang bernilai negatif dan tentunya tidak enak bila terdengar telinga dan dirasakan oleh hati, seakan telah menjadi budaya bangsa, bangsa Indonesia.

Apakah benar hal ini telah menjadi budaya?, ataukah Stereotipe terhadap bangsa?. Stereotipe ada karena fakta yangdimunculkan oleh seseorang maupun sekelompok orang, begitu juga budaya, budaya Indonesia yang banyak mendapat pengaruh dari budaya luar. Tahun 1970, dalam bukunya yang berjudul “Manusia dan Kebudayaan di Indonesia”, Koentjaraningrat menerangkan pengaruh corak-corak kebudayaan luar di Indonesia ada tiga, yaitu. Pertama, pengaruh kebudayaan hindu, mengenai konsepsi susunan negara yang amat hirarkis dengan aneka bagian-bagian dan fraksi-fraksinya yang digolongkan ke dalam atau delapan bagian besar yang bersifat sederajat dan yang tersusun simetris. Dan semua golongan fraksi-fraksi tadi diorientasikan ke atas, ialah sang raja, yang di zaman kerajaan Hindu dahulu dianggap keturunan dewa, bersifat keramat, yang merupakan puncak dari segala hal dalam negara dan merupakan pusat dari alam semesta. Inilah yang merupakan akar dari apa yang telah ditunjukkan oleh rezim orde baru, negara langsung menempatkan diri sebagai patron yang otoriter, akar dari kuatnya posisi lapisan atas, bentuk masyarakat paternalistik, hubungan bapak-anak buah, yang menempatkan bapak ( pemimpin negara) sebagai patron berposisi dominan dan anak buah (rakyat) hanya menjadi subordinat dalam kebutuhan ekonomi dan kedudukan sosialnya tergantung dari patron.

Kedua, pengaruh kebuadayaan Islam, pertama sekali agama Islam masuk ke Indonesia asalnya dari Parsi/Gujarat, India Selatan, padahal agama Islam disana waktu itu mengandung banyak unsur-unsur mistik. Dampak dari hal inilah yang semakin memperkuat anak buah yang terlalu tergantung dari patron, yang takut akan bapak (pemimpin negara). Ketiga, pengaruh kebudayaan Eropa, pengaruh yang sangat kental yang di bawa oleh penjajah (Belanda). Disinilah awalnya, sehingga sampai sekarang kebudayaan dengan mentalitas pegawai negeri masih amat mempengaruhi kehidupan kebudayaan Indonesia pada umumnya. Sementara yang menduduki tingkat perdagangan dan perantara dari zaman kolonial Belanda sampai saat sekarang ini adalah dikuasai orang Tionghoa dan keturunan orang Tionghoa, yang mulai masuk di Indonesia dalam jumlah yang banyak sejak abad ke-17 dan ke-18. Maka, tidak mengherankan banyak terlihat pegawai negeri yang ingin cepat naik pangkat dan dengan cepat pula mendapat fasilitas melalui hubungan kronistik dengan atasan.

Berdasarkan hal-hal yang telah dijabarkan di atas, beberapa solusi yang ditawarkan oleh Budi Raja dalam tulisannya yang berjudul ”Ketika Budaya Ikut Bersalah”. Yaitu negara harus konsisten dalam menerapkan aturan bagi aparatnya, aparat hukum dilapangan mesti bertindak konsisten, berbagai lembaga perlu mendorong perubahan budaya masyarakat ke arah yang egaliter, meritokratis, disiplin, toleran, kualitas pendidikan perlu ditingkatkan merupakan solusi yang efektif. Semoga kesadaran akan budaya tercipta pada semua ruang lingkup bangsa, dan melakukan perubahan akan budaya bukan berarti merubah jati diri bangsa, budaya bangsa bukan budaya yang negatif, apalagi yang tidak enak didengar oleh telinga dan dirasakan oleh hati.