SETELAH
13 tahun perjalanannya, kini UU Imigrasi akan memasuki babak baru. Sebagai hal
ihwal yang mengatur lalu lintas orang yang masuk dan keluar wilayah Indonesia
yang begitu dinamis, sekaligus menjaga kedaulatan negara. 13 tahun itu
terbilang sangat lama. Karena sejatinya hukum mampu mengikuti perubahan.
Kini
UU Imigrasi memasuki babak baru. Ini prestasi baru bagi Menteri Hukum dan HAM
yang baru, Bapak Supratman Andi Agtas, dan Direktur Jenderal Imigrasi Bapak
Silmy Karim.
Tak
perlu terkejut sekarang. Saya telah banyak menulis tentang RUU Keimigrasian.
Lihat saja postingan di media sosial ini. Kalau maksa dan masih penasaran,
esensinya yang saya bahas seputar kewenangan pengawasan orang asing.
Kalau
kemarin Pengawasan Orang Asing adalah kewenangan Imigrasi. Dengan hadirnya UU
Imigrasi yang baru, sudah tidak lagi. Pengawasan orang asing sudah tidak lagi
kewenangan yang hanya dimiliki Imigrasi.
Membahas
itu kita bisa lihat melalui kacamata politik hukum. Ini ilmu yang sangat
berpengaruh sekali dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan.
Politik hukum adalah hal yang tidak bisa dipisahkan dari peraturan
perundang-undangan. Karena ada political will di situ. Sederhananya memahami
politik hukum UU Imigrasi, dapat dipahami mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan, hingga pengundangan.
Pun
kamu sudah tahu itu. Babak baru UU Imigrasi sudah sampai tahap mana. Kamu benar.
Kemarin, 19 September 2024 DPR mengesahkan RUU Imigrasi. Artinya, DPR bersama
dengan Pemerintah telah bersepakat atas RUU tentang Perubahan Ketiga atas UU
Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Babak
baru UU Imigrasi kini tinggal ditandatangani Presiden. Artinya, RUU Imigrasi
yang sudah disahkan itu tinggal butuh waktu 30 hari lagi saja, ditandatangani
ataupun tidak ditandangani oleh Presiden. RUU Imigrasi sah menjadi UU dan wajib
diundangkan.
Ketentuan
itu jelas dan terang diatur. Lihat saja langsung bunyi UUD 1945 Pasal 20 ayat
(5). Lalu kemudian, Menteri Hukum dan HAM mengesahkan dan memasukkan UU
Imigrasi dalam lembar negara termasuk penomoran UU Imigrasi sesuai urutan
penomoran lembar negara. Dengan atau tanpa tanda tangan Presiden.
Apa
saja yang direvisi di UU Imigrasi yang baru? Secara esensi, ada Sembilan
perubahan dalam UU Imigrasi. Pun kamu sudah tahu apa yang Sembilan itu.
Kesembilannya
saya tidak tuliskan kajian rincinya di sini. Yang jelas, di babak baru UU
Imigrasi ini saya bersyukur, UU Imigrasi telah mengindahkan naskah akademik. Di
tulisan sebelumnya, saya sering tegas membilangkan, bahwa UU 6/2011 tidak memiliki
naskah akademik. Secara politik hukum ada yang kurang pas.
Kajian
yang saya fokuskan di tulisan ini, 2 hal saja. Satu yang sudah saya singgung di
atas, tentang Kewenangan Pengawasan Orang Asing. Dan yang kedua, tentang Pejabat
Imigrasi yang dibekali Senjata Api.
Kita
mulai dari Pasal 72 RUU Imigrasi. Ada penambahan frasa “dan/atau Pejabat
Kepolisian Negara Republik Indonesia”. Yang sebelumnya cukup di Pejabat
Imigrasi. Ini yang saya maksudkan kewenangan pengawasan orang asing ada di
Pejabat Imigrasi dan/atau Pejabat Kepolisian Republik Indonesia. Alasan
sinergitas baik di sini, artinya ada koordinasi dan sinergi antar penegak hukum
dalam melakukan pengawasan terhadap orang asing.
Namun,
ini rentan tumpang tindih pelaksanaan kewenangan di lapangan. Implikasi
terminologi pengawasan orang asing bisa jadi menimbulkan kebingungan di
masyarakat.
Sejarah
hukum pelaksanaan regulasi ini dapat dilihat. Frasa Pejabat Polri bukan hal
baru di UU Imigrasi. Telah ada di UU Imigrasi yang lama, UU 9/1992. Namun, frasa
itu dihilangkan ketika UU 6/2011 diundangkan dan diatur tegas dalam Pasal 71-75
UU 6/2011 perubahan kedua UU Imigrasi. Kini, muncul Kembali dengan penambahan
frasa di Pasal 72 di perubahan ketiga UU Imigrasi.
Pasal
72 di perubahan ketiga UU Imigrasi secara terang mengakomodir Pasal 16A huruf d
RUU Polri. “Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk melakukan
deteksi dini dan peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan
penanggulangan terhadap setiap hakikat ancaman termasuk keberadaan dan kegiatan
orang asing guna mengamankan kepentingan nasional dan menjunjung tinggi hak
asasi manusia”.
Kemudian,
tentang Pejabat Imigrasi yang dilengkapi senjata api. Tercantum dalam Pasal 3
ayat (4) UU Imigrasi yang baru. Tunggu dulu, jangan sampai keliru
menerjemahkan. Karena bukan seluruh pejabat imigrasi. Pejabat Imigrasi tertentu
dapat dilengkapi dilengkapi senjata api. Ini sebagai perlindungan diri.
Ini
menarik, karena memang dalam bertugas pegawai imigrasi tak jarang rentan
keselamatan diri. Tapi, kepemilikan senjata api dan perlindungan diri bersifat
individualis dan sangat subjektif. Bahkan, Brian Z. Tamanaha dalam bukunya ‘Law
as a means to an end’ mengingatkan bahwa perlindungan diri sangat tergantung
persepsi individu. Artinya, konsteks dan situasi kepemilikan senjata api dan
perlindungan diri sangat mungkin menimbulkan perdebatan lebih lanjut.
Beda
halnya dengan perlindungan hukum. Memang, cukup disayangkan UU Imigrasi yang
baru belum juga membahas terkait Perlindungan Hukum bagi Pegawai Imigrasi. Di
tulisan-tulisan sebelumnya saya sudah mengutarakan konsep perlindungan hukum
bagi pegawai Imigrasi. Karena pegawai imigrasi rentan kriminalisasi hingga
terancam keselamatan diri dalam bertugas. Tapi, di UU Imigrasi yang baru belum
juga mengatur rinci perlindungan hukum bagi seluruh pegawai imigrasi.
Padahal
lebih penting, perlindungan hukum bukan hanya tentang individu. Perlindungan
hukum mencakup hak seluruh pegawai imigrasi yang diakui secara resmi dan diakui
oleh negara. Ini alasan saya sampaikan bahwa penting perlindungan hukum pegawai
Imigrasi diatur dalam UU Imigrasi.
Dalam
konteks pegawai imigrasi, jelas senjata api dalam keadaan tertentu dibutuhkan. Namun,
perlindungan hukum jauh lebih penting daripada perlindungan diri. Filsuf hukum
dalam bukunya yang begitu terkenal ‘The Concept of Law’, Hart telah menasihati
bahwa perlindungan hukum bersifat objektif dan dapat diakses melalui sistem
hukum. Beda halnya dengan perlindungan diri yang bersifat subjektif. Karena
tanpa perlindungan hukum, perlindungan diri bersifat reaktif, tidak terjamin
dan rentan ugal-ugalan.
Menurut
kamu, lebih penting perlindungan diri atau perlindungan hukum yang dapat
diakses oleh seluruh pegawai imigrasi?
*Fauzi
Abdullah, penulis ebook ‘Seluk-Beluk Hukum Keimigrasian’